Blog Islam Sehari-hari Haji dan Umrah

Sejarah Gelar Haji di Indonesia, Benarkah Warisan dari Belanda?

Umat Islam melaksanakan ibadah Rukun Islam kelima, Haji di Tanah Suci. (Foto: Ilustrasi)
Umat Islam melaksanakan ibadah Rukun Islam kelima, Haji di Tanah Suci. (Foto: Ilustrasi)

Setiap tahun, umat Islamdi Indonesia, semakin meningkat gairah untuk beribadah haji. Naik haji merupakan kebanggaan tersendiri. Berbeda dengan ibadah lainnya, seperti Sholat dan Puasa.

Suatu ketika, Umar bin Khatthab merenung tajam. Ia menyaksikan pada zamannya bahwa kebanyakan orang kaya yang berhaji adalah untuk rekreasi (rihlah), sementara kalangan menengah untuk bisnis (tijarah) dan kalangan miskin untuk meminta-minta (mas'alah).

Memang, orang yang berhaji secara seremonial cukup banyak. Namun, yang berangkat sebagai tamu Allah Subhanahu wa-ta'ala (SWT) sedikit (al-hujjaju katsirun wal wafdu qalilun).

Ya, memprihatinkan memang -- sebagaimana dirasakan Sahabat Nabi tersebut. Ibadah haji yang nilainya luar biasanya ternyata belum benar-benar menjadi keinginan terbesar bagi banyakan umat Islam. Ada yang sangat mengindamkan untuk naik haji, namun niatnya jauh dari menunaikan ibadah untuk meraih ridha Allah Ta'ala.

Di antara niat kebanyakan itu adalah meraih predikat dipanggil "Haji" di tengah masyarakat. Betapa tidak! Predikat "Haji" atau "Hajjah" bagi muslimah, merupakan panggilan yang sangat berharga. Seseorang yang telah naik haji akan dihormati. Bahkan, sangat dihormati di sebagian masyarakat Indonesia.

Haji dan Simbol Pelajaran

Dalam ajaran Islam, praktik dalam berhaji terdiri dari beberapa rukun yang memerlukan gerak badan, seperti thawaf, sa'i, dan lainnya. Semua itu merupakan simbol-simbol yang mengandung pelajaran bagi jamaah haji dan puncak tujuannya adalah melakukan perjanjian dengan Allah.

Haji ini adalah ibadah hati dan badan. Itulah sebabnya kata ulama, haji merupakan simbol-simbol yang lebih luas dan lebih dalam maknanya dari ucapan.

Adapun yang merupakan simbol-simbol dalam berhaji di antaranya adalah pakaian ihram, ka'bah, hajar aswad, dan lainnya. Pakaian merupakan tanda ketaatan makhluk kepada khalik (pencipta)-nya. Itulah sebabnya, para pelaku haji diwajibkan untuk mengenakan pakaian tak berjahit. Allah mau bahwa semua memakai pakaian yang sama, karena kalau berjahit nanti macam-macam model nya.

Simbol lainnya, yaitu Ka'bah yang di dalamnya mengandung banyak sekali pelajaran. Ka'bah yang selama ini dilihat sebagai bangunan berbentuk segi empat/kubus adalah lambang kehadiran Tuhan yang wujudnya ada di mana-mana. Di selatan, utara, timur, barat. Tuhan wujudnya di mana-mana.

Tanda kehebatan lain dari Ka'bah adalah dari cara mengelilinginya (thawaf), yaitu bertentangan dengan arah jarum jam dan berbeda pula dengan perputaran alam semesta beserta isinya. Itu menandakan bahwa thawaf merupakan upaya menyatukan diri ke dalam kelompok-kelompok (makhluk) lain yang taat kepada Allah SWT. Ini luar biasa sekali. Lambang dari kehadiran Tuhan dan Anda memasukkan diri Anda ke dalam kelompok yang taat itu.

Tak hanya itu, terdapat keunikan lain dari Ka'bah, yaitu keberadaan Hajar Aswad (batu hitam). Nabi mengatakan bahwa "Hajar Aswad adalah lambang tangan Tuhan di muka bumi". Itulah mengapa, setiap usai ber-thawaf dianjurkan untuk menciumnya atau minimal dengan hanya menyalami dari kejauhan saja dengan melambaikan tangan. Karena setiap kita melakukan perjanjian dengan orang biasanya berjabatan tangan. Kita habis thawaf kita berjabat tangan dengan Tuhan sebagai lambang kesepakatan bahwa kita akan selalu hadir bersama-Nya di mana pun berada.

Tidak cukup sampai di situ, bagi umat Islam yang menjalankan ibadah haji, saat hendak melaksanakan sa'i agar berusaha menitik tolak setiap tindakannya dari kesucian. Hal itu menjadi alasan bahwa sa'i harus bermula di Shafa (suci) dan berakhir di Marwah (puas hati) selama 7 kali berturut-urut.

Jadi, umat Islam yang melaksanakannya dianjurkan untuk berusaha sekuat tenaga, sebisa mungkin, dengan bersungguh-sungguh. Dan apapun hasil yang diperoleh harus berpuasa hati dan yakinlah bahwa Allah akan memberikan kebahagiaan kepada Anda.

Dalam kitab fikih diingatkan, meskipun tata cara berhaji hanya sekadar lambang-lambang, akan tetapi semua itu merupakan bukti ketaatan seorang hamba terhadap penciptanya. Maka dalam pelaksanaannya pun diimbau agar selalu menyeimbangkannya dengan akal sehat.

Ada kisah menarik yang merupakan kejanggalan. Seorang yang menjalankan ibadah haji, melontar Jumrah dengan sandal. Padahal bukan seperti itu caranya. Jumrah itu lambang bahwa kita (yang sedang menjalankan ibadah haji) bermusuhan dengan setan. Jadi tidak perlu batu besar. Karena bukan itu setannya.

Lambang selanjutnya adalah tahalul (memotong/mencukur rambut) sebagai ciri pengguguran dosa yang diharapkan dapat mendatangkan ketenangan jiwa. Karena bila kita masih merasakan ada dosa, kita pasti terganggu.

Lambang-lambang tersebut adalah bentuk kesepakatan perjanjian hamba dengan Allah SWT dalam rangka meraih keridhaan-Nya. Yakni mendapatkan haji yang mabrur (diterima). Haji mabrur adalah orang yang menepati janjinya ketika dia berhaji. Dan alangkah ruginya orang yang berkunjung ke rumah kekasih lalu ditolak oleh kekasihnya.

Meraih Gelar Haji suatu Kebanggaan

Ibadah rukun Islam kelima bagi umat Islam. Jemaah haji asal Indonesia jumlahnya cukup menonjol dibanding negara lain. Berbeda dari negara lain, selepas menjalankan ibadah haji, orang Indonesia seringkali menyematkan gelar "Haji" atau "Hajjah" di depan nama orang yang sudah ke Tanah Suci.

Tradisi penyematan gelar "Haji" ini disinyalir hanya ada di Indonesia dan merupakan warisan dari penjajah. Benarkah demikian?

Menurut Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri, penyematan gelar Haji hanya ada di Indonesia. Menurutnya, meski gelar "Haji" telah banyak ditemukan di negara lain, tetapi dalam sejarahnya hanya ada di Indonesia. "Itu khas Indonesia, tidak ada di negara lain. Buktinya di Timur Tengah tidak ada gelar Haji, orang Barat juga tidak bergelar Haji walaupun sudah haji".

Sejauh ini, memang asal gelar Haji dari pemerintah Hindia Belanda. Dahulu, orang-orang pribumi yang menunaikan ibadah haji diduga terpapar paham Pan-Islamisme, salah satu paham pemberontak kolonialisme selain komunis. Terdapat dua paham lawan kolonialisme pada saat itu, yakni kelompok kiri yang dikenal dengan komunis, serta Pan-Islamisme.

Penyematan gelar haji Pan-Islamisme mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat. Paham ini, bersumber dan menyebar dari Tanah Suci, tempat Muslim menggelar ibadah haji.

Zaman dahulu orang haji tidak seminggu sebulan, bahkan bertahun-tahun, karena di sana sambil ngaji, sambil bekerja, macam-macam, dan ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara.

Menguatnya paham Pan-Islamisme pada masa itu, hingga pemerintah kolonial yang takut akhirnya menyematkan gelar "Haji" sebagai penanda. Karena itulah, orang-orang yang sepulang haji ditandai dan diberi gelar "Haji" oleh pemerintah kolonial, menyatu dengan namanya.

Gelar Haji pemberian Belanda juga bukan merupakan gelar penghormatan. Melainkan, untuk berjaga-jaga jika mereka memengaruhi masyarakat untuk melakukan kritik dan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Mulai awal Abad ke-20.

Sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali menjelaskan, gelar "Haji" merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan penyebaran paham Pan-Islamisme dari ibadah haji yang merebak pada awal abad ke-20.

Salah satunya sejak 1916, pemerintah Belanda menyematkan gelar Haji di depan nama setiap penduduk muslim yang ada di Hindi Belanda dengan maksud agar mudah diawasi. Pada masa itu, semangat kemerdekaan terus digaungkan oleh tokoh Islam, terutama mereka yang telah kembali dari ibadah haji. Maka dapat disimpulkan, gelar Haji adalah gelar pemberontak yang diberikan penjajah kepada penduduk Indonesia saat itu.

Contoh, beberapa tokoh yang sukses menyuarakan perlawanan kolonialisme usai beribadah haji. Di antaranya, KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah pada 1912), KH Muhammad Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama [NU] pada 1926), H. Samanhudi (pendiri Sarekat Dagang Islam [SDI] pada 1905, dan HOS Tjokroaminoto (pendiri Sarekat Islam [SI] 1912). Berdirinya organisasi-organisasi Islam ini mengkhawatirkan pihak Belanda karena tokoh yang pulang dari ibadah haji dianggap sebagai seorang yang suci.

Pasalnya, para Haji yang dianggap sebagai orang suci itu akan lebih didengar penduduk awam yang ada di Hindia Belanda. Dulu para kiai tidak ada yang memiliki gelar haji. Namun, karena perlawanan yang dilakukan umat Islam terhadap kolonial terutama yang baru pulang dari ibadah haji, maka disematkanlah gelar itu.

Gelar Haji Sejak Zaman VOC

Seorang Muslim atau Muslimah Indonesia yang baru saja pulang dari ibadah haji pasti akan mendapatkan gelar "haji" di depan namanya. Panggilan "Pak Haji" atau "Bu Haji" menjadi sebuah panggilan penghormatan kepada seseorang yang baru saja pulang dari beribadah di Tanah Suci. Tapi, tahukah Sedulur jika gelar Haji itu dibuat bukan oleh Kerajaan Arab melainkan bikinan Kerajaan Belanda.

Tentu saja gelar Haji diberikan bukan tanpa sebab. Ada udang di balik bakwan ibaratnya. Gelar Haji justru menjadi label dari Kerajaan Belanda kepada setiap Muslim pribumi yang baru saja pulang dari Tanah Suci.

Alasan diberikan label tersebut karena para Pak Haji dan Bu Haji di era itu bisanya tidak hanya membawa misi menyebarkan dakwah setelah mendapatkan banyak ilmu di Tanah Suci, tapi juga punya misi perjuangan melawan penjajah. Semula, para pegawai kongsi dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tidak melihat ibadah haji dari sudut pandang politik, melainkan dari perdagangan yang membawa keuntungan. Sebab, para pegawai VOC menyediakan kapal-kapal untuk perjalanan ke Saudi.

Penyelenggaraan haji sebagai gerakan politik baru terasa ketika VOC bangkrut dan digantikan Kerajaan Belanda. Dalam Ordonansi Haji tahun 1825, Pemerintah Hindia Belanda membatasi jumlah umat Islam yang ingin berangkat ke Tanah Suci. Tujuannya tak lain agar tidak ada pemberontakan.

Salah satu cara yang dilakukan adalah menaikkan biaya haji. Tapi bukannya berkurang, jumlah umat Islam yang mengajukan paspor haji ke kantor imigrasi justru mengalami lonjakan pada 1824. Situasi ini membuat bingung Pemerintah Hindia Belanda karena ditakutkan para haji itu akan menyebarkan pikiran-pikiran baru.

Salah satu yang paling fenomenal adalah Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, dipelopori para pemuka agama. Perang yang berlangsung selama lima tahun dari 1825-1830 itu bahkan membuat Pemerintah Hindia Belanda bangkrut.

Karena dasar itulah, pemerintah Belanda melabeli setiap Muslim yang baru ibadah haji dengan gelar "haji". Mereka akan diawasi pergerakannya.

Salah satu cara mengawasi pergeran mereka adalah dengan memberlakukan "ujian haji". Mereka yang mengaku baru pulang dari Tanah Suci harus membuktikan kebenaran jika mereka benar-benar mengunjungi Mekkah. Jika dianggap lulus, mereka berhak menyandang gelar gaji dan diwajibkan memakai "pakaian khusus haji" berupa jubah, serban putih atau kopiah putih.

Dari ujian Haji itulah penyematan haji diberlakukan. Tujuannya ya itu tadi, untuk mempermudah pengawasan agar Pemerintah Kolonial Belanda tidak perlu repot-repot mengawasi satu per satu. Sehingga ketika ada perlawanan terhadap Belanda, mereka tinggal menangkap para haji.

Akhirnya, sejarah membuktikan bawah Pemerintah Hindia Belanda memberikan gelar haji kepada setiap Muslim yang baru kembali dari Tanah Suci. Setiap tahun, faktanya umat Islam, terutama di Indonesia, semakin meningkat gairah untuk beribadah haji.

Semoga umat Islam yang menunaikan ibadah haji tidak semata-mata berniat meraih gelar Haji, melainkan untuk semata-mata menunaikan Rukun Islam kelima dan meraih ridha Allah Ta'ala. Amiin.

Tags