Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam
Pembagian harta warisan kepada ahli waris memiliki perhitungan yang berbeda-beda setiap kasus. Perbedaan tersebut mengacu kepada hukum warisan sesuai dalam ajaran Islam. Lalu bagaimana aturan ahli waris dalam Islam dan pembagian harta sesuai syariat?
Perlu diketahui pewaris merupakan orang yang meninggal berdasarkan putusan Pengadilan yang meninggalkan ahli waris serta harta peninggalannya. Sementara itu ahli waris merupakan orang yang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris. Besarnya pembagian harta pun berbeda untuk masing-masing aturan ahli waris dalam Islam.
Sebelum membahas bagaimana cara menghitung pembagian harta warisan sebelumnya mesti diketahui lebih dahulu beberapa istilah yang biasa dipakai dalam pembagian warisan.
Beberapa istilah itu antara lain adalah:
Asal Masalah (أصل المسألة)
Asal Masalah adalah: أقل عدد يصح منه فرضها أو فروضها Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian secara benar.” (Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II, halaman 339)
Adapun yang dikatakan “didapatkannya bagian secara benar” atau dalam ilmu faraidl disebut Tashhîhul Masalah adalah: أقل عدد يتأتى منه نصيب كل واحد من الورثة صحيحا من غير كسر Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian masing-masing ahli waris secara benar tanpa adanya pecahan.” (Musthafa Al-Khin, 2013:339)
Dalam ilmu aritmetika, Asal Masalah bisa disamakan dengan kelipatan persekutuan terkecil atau KPK yang dihasilkan dari semua bilangan penyebut dari masing-masing bagian pasti ahli waris yang ada. Asal Masalah atau KPK ini harus bisa dibagi habis oleh semua bilangan bulat penyebut yang membentuknya.
‘Adadur Ru’ûs (عدد الرؤوس)
Secara bahasa ‘Adadur Ru’ûs berarti bilangan kepala. Asal Masalah sebagaimana dijelaskan di atas ditetapkan dan digunakan apabila ahli warisnya terdiri dari ahli waris yang memiliki bagian pasti atau dzawil furûdl. Sedangkan apabila para ahli waris terdiri dari kaum laki-laki yang kesemuanya menjadi ashabah maka Asal Masalah-nya dibentuk melalui jumlah kepala/orang yang menerima warisan.
Siham (سهام)
Siham adalah nilai yang dihasilkan dari perkalian antara Asal Masalah dan bagian pasti seorang ahli waris dzawil furûdl.
Majmu’ Siham (مجموع السهام)
Majmu’ Siham adalah jumlah keseluruhan siham.
Harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris merupakan harta bawaan dan harta bersama setelah digunakannya untuk keperluan pewaris seperti pembayaran hutang, pengurusan jenazah dan pemberian kepada saudara.
Pembagian harta warisan telah dijelaskan dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 11 yakni 6 presentase pembagian harta waris seperti setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Ahli waris mendapatkan setengah (1/2)
Ahli waris mendapatkan setengah (1/2) setidaknya satu dari kelompok laki-laki dan empat perempuan, yakni suami, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.
Ahli waris mendapatkan seperempat (1/4)
Ahli waris yang mendapatkan seperempat (1/4) adalah dua orang, yakni suami atau istri.
Ahli waris mendapatkan seperdelapan (1/8)
Jumlah seperdelapan (1/8) ini diberikan kepada satu pihak, yakni istri yang memiliki anak dan atau cucu dari anak laki-laki.
Ahli waris mendapatkan dua pertiga (2/3)
Jumlah dua pertiga (2/3) diberikan oleh ahli waris yang terdiri dari empat orang yang semuanya adalah perempuan. Ahli waris ini antara lain cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.
Ahli waris mendapatkan sepertiga (1/3)
Ahli waris yang mendapatkan sepertiga (1/3) adalah ibu dan dua saudara baik laki-laki atau perempuan dari satu ibu.
Ahli waris mendapatkan seperenam (1/6)
Ahli waris yang mendapatkan bagian seperenam (1/6) adalah 7 orang yakni bapak, ibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, kakek, saudara perempuan sebapak, nenek, dan saudara seibu.
Selain itu, merujuk pada beberapa ketentuan dalam Ilmu Fiqih yang lebih spesifik terkait dengan pembagian waris dalam Kompilasi Hukum Islam hukum kewarisan dijelaskan sebagai hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Namun demikian, selain memperoleh hak waris, ahli waris juga memiliki kewajiban menurut ketentuan pasal 175 KHI yakni untuk mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.Menyelesaiakan wasiat pewaris. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI) dengan ketentuan sebagaiman berikut ini :
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI).
Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).
Masalah waris mewaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan.
Sedangkan menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan. Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:
Anak laki-laki (al ibn).
Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn).
Bapak (al ab).
Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).
Saudara laki-laki seibu (al akh lium).
Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).
Paman seibu sebapak.
Paman sebapak (al ammu liab).
Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).
Suami (az zauj).
Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan seorang hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris.
Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:
Anak perempuan (al bint).
Cucu perempuan (bintul ibn).
Ibu (al um).
Nenek, yaitu ibunya ibu (al jaddatun).
Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).
Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).
Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).
Isteri (az zaujah).
Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).
Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila si pewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri berhak mendapatkan juga bagian warisnya.
Dengan demikian maka dalam Islam, pembagian waris bukan melalui pembagian merata kepada ahli waris, akan tetapi dengan pembagian yang proporsional seperti penjelasan diatas.
(WIT)