Mengenal Makna Thagut
Istilah thaghut merupakan istilah yang cukup jarang ditemukan atau jarang muncul dalam Al-Qur’an. Menurut Laila Sari Masyhur (2012), dalam jurnalnya menyebutkan bahwa istilah thāgūt ini diulang sebanyak 39 kali yang terdapat pada 39 ayat dalam 27 surat.
Dalam Lisan al-Arab, Ibn Mandzur menjelaskan bahwa طَغَى – يَطْغَى – طغيا – ويطغو – طغيانا , yakni bermakna melampaui batas, keterlaluan dalam kekufuran, kedurhakaan (kemaksiatan), ketidak-taatan, dan keterlaluan dalam kedzoliman.
Pengertian Thagut
Menurut bahasa, kata thāghūt berasal dari kata thāghā, yang berarti melampaui batas, berbuat sewenang-wenang, kejam atau menindas, melebihi ketentuan yang ada, meninggi, dan melampaui batas dalam hal pengingkaran (kepada Allah).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyampaikan makna thāghūt menurut istilah, yaitu segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melebihi batasannya, baik itu sesuatu yang diikuti, atau ditaati.
Derivasi Kata Thaghut dalam Al-Qur’an
Mengutip dari Jurnal Ushuluddin karya Laila Sari Masyhur yang berjudul Thāghūt dalam Al-Qur’an, disebutkan bahwa jika dilihat dari segi stuktur atau bentuknya, terdapat 5 derivasi (pengungkapan kata jadian) pada kata thāghūt di dalam Al-Qur’an, yaitu;
Pertama, sebagai fi’il madhi (kata kerja yang menunjukan waktu masa lampau). Biasanya berbentuk kataطغوا / أطغيته طغى / أطغى / .
Kata طغى (thaghaa) contohnya terdapat pada Q.S. Thaha [20] : 43 yang berbunyi :
اِذْهَبَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰىۚ ٤٣
Artinya : Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun! Sesungguhnya dia telah melampaui batas.
Juga disebut dalam 4 ayat lainnya, seperti pada Q.S. An-Naziat [79] : 37, Q.S. An-Najm [53] : 17, Q.S. Al-Haqqah [69] : 11, dan Q.S. Thaha [20] : 24.
Kata أطغى (athghaa) contohnya terdapat pada Q.S. An-Najm [53] : 52 yang berbunyi :
وَقَوْمَ نُوْحٍ مِّنْ قَبْلُۗ اِنَّهُمْ كَانُوْا هُمْ اَظْلَمَ وَاَطْغٰىۗ ٥٢
Artinya : Sebelum itu kaum Nuh juga (dibinasakan). Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang lebih zalim dan lebih durhaka.
Kata طغوا (thaghaw) terdapat pada Q.S. Al-Fajr [89] : 11 yang berbunyi :
الَّذِيْنَ طَغَوْا فِى الْبِلَادِۖ ١١
Artinya : yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri,
Kata أطغيته (athghaituhu) terdapat pada Q.S. Qaf [50] : 27 yang berbunyi :
۞ قَالَ قَرِيْنُهٗ رَبَّنَا مَآ اَطْغَيْتُهٗ وَلٰكِنْ كَانَ فِيْ ضَلٰلٍۢ بَعِيْدٍ ٢٧
Artinya : (Setan) yang menyertainya berkata (pula), “Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dia sendiri yang berada dalam kesesatan yang jauh.”
Kedua, sebagai fi’il mudhari’ (kata kerja yang menunjukan waktu masa kini dan yang akan datang). Biasanya berbentuk kata يَطْغَى (yathghaa). Contohnya terdapat pada Q.S. Al-‘Alaq [96] : 6 yang berbunyi :
كَلَّآ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَيَطْغٰىٓ ۙ ٦
Artinya : Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas
Disebut juga pada Q.S. Thaha [20] : 45
Ketiga, sebagai fi’il nahyi (kata kerja yang menunjukkan untuk larangan). Biasanya berbentuk kata تطغوا (tathghaw). Contohnya dalam Q.S. Ar-Rahman [55] : 8 yang berbunyi :
اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ ٨
Artinya : agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu.
Juga disebut pada Q.S. Thaha [20] : 81 dan pada Q.S. Hud [11] : 112.
Keempat, sebagai mashdar (kata benda abstrak). Biasanya berbentuk kata طغيانا / طغيانهم / بطغواها / بالطاغية .
Kata طغيانا (thughyanan) contohnya dalam Q.S. Al-Kahf [18] : 80 yang berbunyi :
وَاَمَّا الْغُلٰمُ فَكَانَ اَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِيْنَآ اَنْ يُّرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَّكُفْرًا ۚ ٨٠
Artinya : Adapun anak itu (yang aku bunuh), kedua orang tuanya mukmin dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya untuk durhaka dan kufur.
Disebut juga pada 3 ayat lainnya, seperti Q.S. Al-Maidah [5] : 64 dan 68, Q.S. Al-Isra [17] : 60.
Kata طغيانهم (thughyanihim) contohnya dalam Q.S. Al-Baqarah [2] : 15 yang berbunyi :
اَللّٰهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ ١٥
Artinya: Allah akan memperolok-olokkan dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.
Disebut juga pada 4 ayat lainnya, seperti pada Q.S. Yunus [10] : 11, Q.S Al-Mu’minun [23] : 75, Q.S. Al-A’raf [7] : 186 dan Q.S. Al-An’am [6] : 110.
Kata بطغواها (bi thaghwaha) contohnya dalam Q.S. As-Syams [91] : 11 yang berbunyi :
كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ بِطَغْوٰىهَآ ۖ ١١
Artinya : (Kaum) Samud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas
Kata بالطاغية (bi thaghiyah) contohnya dalam Q.S Al-Haqqah [69] : 5 yang berbunyi :
فَاَمَّا ثَمُوْدُ فَاُهْلِكُوْا بِالطَّاغِيَةِ ٥
Artinya : Adapun (kaum) Samud, mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras,
Kelima, sebagai isim fa’il (kata benda yang menunjukan arti pelaku). Biasanya berbentuk kata طاغوت / طاغون / طاغين
Kata طاغوت (thaghut) contohnya dalam Q.S Al-Baqarah [2] : 257 yang berbunyi :
… وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَوْلِيَاۤؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِّنَ النُّوْرِ اِلَى الظُّلُمٰتِۗ… الخ٢٥٧
Artinya : … Sedangkan orang-orang yang kufur, pelindung-pelindung mereka adalah tagut. Mereka (tagut) mengeluarkan mereka (orang-orang kafir itu) dari cahaya menuju aneka kegelapan….
Disebut juga dalam 7 ayat lain, seperti pada Q.S. An-Nisa [4] : 51,60,76, Q.S. An-Nahl [16] : 36, Q.S. Al-Baqarah [2] : 256, Q.S. Al-Maidah [5] : 60, dan Q.S. Az-Zumar [39] : 17.
Kata طاغون (thaghun) contohnya dalam Q.S. At-Thur [52] : 32 yang berbunyi :
اَمْ تَأْمُرُهُمْ اَحْلَامُهُمْ بِهٰذَآ اَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُوْنَۚ ٣٢
Artinya : Apakah mereka diperintah oleh pikiran-pikiran mereka untuk mengucapkan (tuduhan-tuduhan) ini atau apakah mereka kaum yang melampaui batas?
Disebut juga dalam ayat lain yakni pada Q.S. Az-Zariyat [51] : 53
Kata طاغين (thaghin) contohnya dalam Q.S. As-Saffat [37] : 30 yang berbunyi :
وَمَا كَانَ لَنَا عَلَيْكُمْ مِّنْ سُلْطٰنٍۚ بَلْ كُنْتُمْ قَوْمًا طٰغِيْنَ ٣٠
Artinya : (Sebenarnya,) kami sedikit pun tidak berkuasa terhadapmu (untuk menghalang-halangimu), bahkan kamulah kaum yang melampaui batas.
Disebut juga pada ayat lainnya, seperti pada Q.S. An-Naba [78] : 22, Q.S. Shad [38] : 55, dan Q.S. Al-Qalam [68] : 31.
Semantik Kata Thāghūt
Mengutip dari Jurnal Al-Itqan karya Muhammad Asif yang berjudul Makna Thāghūt dalam Al-Qur’an (2017), kata thaghut dalam Al-Qur’an memiliki beberapa konsep yang berbeda-beda dalam Al-Qur’an.
Konsep-konsep tersebut memiliki korelasi satu sama lain. Kata thāghūt dalam Al-Qur’an menjadi semacam simbol terhadap segala hal yang berlawanan terhadap kata “Allah”.
Thaghut dalam Al-Qur’an menjadi salah satu tema sentral, karena memiliki peran menjauhkan diri seseorang dari keimanan mengajak ke jalan yang sesat dan kekufuran, berbuat dzalim, serta segala hal yang sifatnya menyekutukan Allah.
Dalam semantik, thāghūt memiliki sinonimitas seperti; kufur (ingkar), jibt (golongan thāghūt), syaithan (setan), dzulumat (kegelapan), dho’if (lemah), dholal (sesat), ‘udwan (musuh), itsm (dosa), syarrun (buruk), dan ghayy (jalan yang sesat). Dari persaman tersebut, sudah sangat jelas bahwasanya kata thāghūt menempati sisi negatif.
Maka dari itu, Al-Qur’an memerintahkan untuk mengingkari thāghūt dan berpegang teguh pada iman agar tidak tersesat dalam kedzaliman. Dapat ditandai bahwa thāghūt adalah simbol pembangkangan kepada Allah, yang barang siapa mengimaninya maka ia telah melampaui batas.
Pendapat para ulama tentang makna istilah thaghut adalah sebagaimana perkataan Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu Ta’ala dalam Tafsir-nya (3/21):
الصواب من القول عندي في الطاغوت أنه كل ذي طغيان على الله ، فعبد من دونه ، إما بقهر منه لمن عبده ، وإما بطاعة ممن عبده له ، إنساناً كان ذلك المعبود ، أو شيطاناً أو وثناً أو صنماً أو كائناً ما كان من شيء وقال أيضاً : وأصل الطاغوت .. من قول القائل طغا فلان يطغو إذا عدا قدره فتجاوز حده
“Yang benar menurut pendapatku tentang makna thaghut adalah semua orang yang melampaui batas terhadap Allah Ta’ala, sehingga dia pun disembah selain Allah Ta’ala. Baik hal itu disebabkan karena kekuasaannya atas orang-orang penyembahnya atau karena ketaatan para penyembahnya kepadanya, baik sesembahan tersebut berupa manusia, setan, patung, berhala, atau sesembahan dalam bentuk apa pun.
Dikatakan pula bahwa asal kata dari thaghut adalah,
طغا فلان يطغو
“jika seseorang melewati ukuran semestinya sehingga melampaui batas”.
Maka para Nabi, ulama, wali, dan orang-orang shalih selain mereka, tidaklah mengajak manusia untuk menyembah mereka dan juga tidak setuju terhadap tindakan mereka (para penyembahnya). Bahkan mereka memperingatkan umat dari tindakan tersebut dengan bentuk peringatan yang sangat keras. Lebih-lebih lagi, tujuan utama diutusnya para rasul kepada manusia adalah untuk mengajak manusia men-tauhidkan Allah Ta’ala dan mengingkari segala macam sesembahan selain Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.’” (QS. An-Nahl [16]: 36)
Allah Ta’ala befirman,
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ (116) مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (117)
“Dan (Ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang sesembahan selain Allah?’ Isa menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan, maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib.”
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu, ‘Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu’, dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah [5]: 116-117)
Maka para nabi dan ulama tidaklah disebut dengan thaghut, meskipun manusia menyembah mereka di samping menyembah Allah Ta’ala.
Jika manusia melampaui batas terhadap Imam Asy-Syafi’i atau ulama lainnya –rahimahumullahu Ta’ala-, (misalnya) dengan ber-istighatsah kepada mereka atau menyembah kubur mereka, maka tidak ada dosa atas mereka (para ulama). Dosa tersebut berlaku bagi orang yang berbuat syirik. Demikian pula umat Nashrani yang menyembah Nabi Isa ‘alaihis salaam. Nabi Isa ‘alaihis salaam tidaklah menanggung dosa sedikit pun atas perbuatan umat Nashrani tersebut.
Di antara defisini ringkas tentang thaghut adalah,
من عُبِد من دون الله وهو راضٍ
“Semua yang disembah selain Allah Ta’ala dan dia ridha (tidak mengingkari) atas penyembahan tersebut.”
Dan telah diketahui bahwa Nabi Isa ‘alaihis salaam, demikian pula para Nabi yang lain, dan juga Imam Asy-Syafi’i serta para ulama ahli tauhid yang lainnya, mereka tidaklah ridha sedikit pun terhadap penyembahan manusia kepada mereka. Bahkan mereka melarang hal tersebut dan menjelaskan (hakikat) tauhid.
Allah Ta’ala befirman,
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ (116) مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (117)
“Dan (Ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang sesembahan selain Allah?’ Isa menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan, maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib.”
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu, ‘Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu’, dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah [5]: 116-117).
(WIT)