Mengenal Kisah dan Keteladanan Ashabul Ukhdud
Di masa lalu, banyak kisah yang bisa kita teladani. Salah satunya cerita tentang kaum yang beriman kepada Allah SWT memiliki keteguhan hati menjaga ketauhidannya meski dihadapkan pada maut. Ya, kisah ini disebut Ashabul Ukhdud.
Kisah yang Allah Azza wa Jalla abadikan dalam Al Qur’an Surat Al Buruj ayat 1-9 dan Hadits sahih yang panjang riwayat Imam Muslim dalam kitab Az-Zuhd bab "Qishashotu Ash-habil Ukhdud was Sahir war Rahib wal Ghulam: 3005.
Dalam kisah ini diceritakan di mana sebuah kaum yang rela mati dalam kobaran api dalam parit karena menolak murtad. Mereka adalah kaum Faimiyun yang mayoritas menganut ajaran Nabi Isa AS.
Tragedi ini terjadi di Najran pada 523 Masehi, saat Yaman dipimpin Kabilah Himyar dengan raja terakhirnya adalah Yusuf bin Syarhabill yang dijuluki Zur’ah Dzu Nuwaz. Pemimpin ini sangat zalim, bengis, serta selalu mendewakan dirinya.
Karena kezalimannya pula, kaum Faimiyun diminta untuk meninggalkan keimanannya kepada Allah SWT. Tapi mereka menolak, sehingga sang raja murka dan menghukum mereka dengan memasukkannya ke dalam api di dalam parit yang ia buat. Tak peduli pria tua, muda, remaja, ibu-ibu maupun bayi ia ceburkan ke dalamnya hingga hangus terbakar. Total sekitar 20.000 orang mati di tangan Dzu Nuwaz.
Menurut Al-Mufradat fi Gharib al-Quran , " Ukhdud " berasal dari kata " Khadd " yang artinya "selokan lebar dan dalam di tanah." Disebutkan demikian karena diyakini sebagai tempat pembakaran terjadi. Sementara Ukhdud adalah nama wilayah yang terletak 5 km arah selatan Kota Najran di Arab Saudi, di mana parit itu dibuat oleh penguasa zalim itu.
Ringkasan Cerita
Cerita ini berawal dari seorang penyihir kerajaan yang ingin mencari penggantinya lantaran usianya sudah tua. Ia pun memilih seorang pemuda cerdas untuk dikader menjadi penerusnya. Namun, sang pemuda juga berguru pada seorang rahib yang beriman kepada Allah SWT.
Perbedaan ajaran kedua gurunya membuat sang pemuda bimbang. Di saat itulah ada hewan buas besar yang berada di tengah jalan. Sehingga beberapa orang yang hendak melintas jadi ketakutan.
Untuk membuktikan kebenaran ajaran di antara kedua gurunya. Ia mengambil sebuah batu lalu melempar ke arah bintang buas sembari berkata, "Ya Allah, apabila perkara rahib lebih engkau sukai dari pada tukang sihir, maka bunuhlah binatang buas itu". Ajaibnya, batu itu mampu menewaskan binatang tersebut.
Hari pun berlalu, kelebihan si pemuda semakin bertambah. Ia bisa menyembuhkan kebutaan, kusta dan penyakit-penyakit lainnya. Hingga suatu ketika ada penasihat kerajaan yang mengalami kebutaan mendengar kabar tersebut.
Ia pun mendatangi si pemuda tersebut dengan membawa banyak hadiah. Sang penasihat kerajaan pun meminta pemuda itu untuk menyembuhkan dengan imbalan banyak hadiah yang ia bawa.
Namun pemuda itu mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menyembuhkan siapa pun. “Yang bisa menyembuhkan hanya Allah SWT,” kata pemuda itu.
Maka, jika kau ingin sembuh, maka kau harus beriman kepada Allah. Sehingga aku bisa meminta kepada Allah SWT untuk menhyembuhkanmu. Sang penasihat pun menuruti permintaan pemuda tersebut. Setelah ritual dilakukan, penasihat kerajaan itu pun sembuh. Ia pun kembali ke kerajaan.
Sang raja Zur’ah Dzu Nuwaz pun kaget melihat penasihat itu bisa melihat lagi. Ia pun bertanya siapakah yang menyembuhkan sang penasihat. Tapi penasihat kerajaan tersebut menyatakan bahwa yang menyembuhkannya adalah Tuhannya, Allah SWT.
Raja pun kalap mendapat jawaban itu karena ada Tuhan selain dirinya. Ia menyiksa si penasihat kerajaan sampai ia menyebut nama pemuda tersebut. Raja zalim itu pun memerintahkan prajuritnya membawa pemuda itu ke istana dan memintanya untuk meninggalkan imannya kepada Allah SWT.
Karena mendapat jawaban yang sama, raja juga menyiksa pemuda itu. Sampai akhirnya pemuda tersebut menyebut nama sang rahib. Maka dibawalah si rahib ke hadapannya.
Saking marahnya, Dzu Nuwaz pun mengambil gergaji dan dibelah tubuh si penasihat itu menjadi dua. Begitu pula dengan sang rahib. Namun Dzu Nuwaz memberi hukuman berbeda. Ia meminta beberapa prajurit membawanya ke gunung. Jika sudah mencapai puncak si pemuda itu masih tak mau murtad, prajurit diperintahkan untuk menjatuhkan pemuda itu ke dalam jurang.
Si pemuda itu pun berdoa agar diselamatkan. Maka diguncanglah gunung itu hingga menewaskan semua prajurit kerajaan yang membawanya dan hanya pemuda itu yang selamat.
Raja pun tak kehilangan akal, ia memerintahkan sejumlah prajurit lainnya membawanya ke tengah laut untuk menenggelamkan pemuda yang baginya pembangkang. Lagi-lagi pemuda itu memohon kepada Allah SWT untuk diselamatkan. Badai dan ombak besar pun menerjang kapal, para prajurit pun tenggelam, dan pemuda itu kembali selamat.
Ia kembali untuk membuktikan bahwa Allah SWT yang menyelamatkan dirinya. Pemuda itu kemudian mengatakan kepada raja bengis itu agar mengatakan kalimat “Demi nama Tuhannya anak ini,” sembari melepaskan anak panah ke arahnya.
Raja itu menuruti perkataan pemuda tersebut. Anak panah melesat dan mengenai keningnya. Darahnya pun bercucuran dan kemudian si pemuda itu meninggal.
Banyak orang yang melihat kejadian itu justru membuat iman mereka kepada Allah SWT semakin kuat. Kemarahan raja pun semakin menyeruak dan memerintahkan anak buahnya membuat api besar di dalam parit untuk membakar semua yang beriman kepada Allah SWT. Salah satunya seorang ibu yang menggendong bayinya.
Dari kisah ini bisa diambil hikmah, bahwa demi kebenaran, mereka tetap teguh meski nyawa mereka menjadi taruhan. Keimanan kepada Allah SWT sebuah keniscayaan yang tak bisa ditukar dengan apa pun di dunia ini.
Wallahu a'lam bisshawab.
(RZL)