Memahami Nasikh dan Mansukh
Nasakh secara bahasa memiliki beberapa makna yaitu : Menghapus, mengubah, dan dengan yang lainnya. Secara istilah adalah menghapus sebuah hukum yang telah ditetapkan dengan dalil syari'at sebelumnya dengan dalil lainnya yang datang kemudian.
Hukum yang dihapus adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf seperti hukum wajib, sunnah, mubah, haram dan makru, adapun yang berhubungan dengan kabar seperti nama dan sifat Allah, kisah-kisah para Nabi, janji dan ancaman dan keutamaan amal maka tidak berlaku nasikh mansukh.
Nasikh dan mansukh merupakan salah satu pengertian yang sering digunakan dalam pembahasan mengenai ayat-ayat Al Qur’an maupun hadits. Nasikh sendiri secara bahasa sebenarnya bisa diartikan sebagai menghilangkan atau menghapus. Sementara itu mansukh artinya dihapuskan. Untuk lebih jelasnya berikut adalah contoh nasikh dan mansukh beserta pengertiannya dalam ajaran Islam.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Djelaskan bahwa ilmu nasikh mansukh terutama dalam hadits adalah ilmu yang membahas mengenai hadits-hadits yang berselisih atau bertentangan dan tidak mungkin bisa dikompromikan di antara keduanya dari aspek hukum yang ada di sebagian hadits tersebut karena ia sebagai nasikh atau penghapus.
Oleh karena itu, hadits yang pertama atau lebih dulu ada adalah mansukh atau terhapus dan hadis yang terakhir adalah nasikh.
Contoh dari kasus nasikh dan mansukh sebenarnya ada di dalam ayat Al-Quran, misalnya adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Anfal ayat 65.
"Wahai Nabi (Muhammad), kobarkanlah semangat orang-orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh); dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir karena mereka (orang-orang kafir itu) adalah kaum yang tidak memahami"(QS. Al-Anfal: 65)
Dalam ayat tersebut menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir. Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
"Sekarang (saat turunnya ayat ini) Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui sesungguhnya ada kelemahan padamu. Jika di antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh) dan jika di antara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Anfal: 66)
Macam-macam Nasakh
Nasikh mansukh terbagi menjadi empat macam :
1. Nasakh Al Qur'an dengan Al Qur'an seperti firman Allah Ta'ala :
ليكم ا الموت ا الوصية للوالدين الأقربين المعروف
“Diwajibkan atas kamu, jika seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu dan bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf.” (Al Baqarah : 180).
Ayat ini telah dinasakh (mansukh) dengan ayat warisan, Rasulullah SAW bersabda:
لاَ لِوَارِثٍ.
“Tidak boleh berwasiat (berupa harta) untuk ahli waris.” (HR Abu Dawud no 2872 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani).
2. Nasakh sunnah dengan sunnah, contohnya adalah hadits:
ارَةِ الْقُبُوْرِ ا
“Dahulu aku melarang kamu untuk berziarah kubur, dan sekarang berziarahlah.”
3. Nasakh sunnah dengan Al Qur'an, seperti hadits sebelum sholat menghadap baitul maqdis yang ditetapkan dengan sunnah kemudian dinasakh oleh ayat :
لِّ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Maka hadapkanlah wajahmu menuju masjidil haram.” (Al Baqarah : 144).
4. Nasakh Al Qur'an dengan sunah.
Imam Asy Syafi'I dan Ahmad berpendapat bahwa Al Qur'an tidak boleh dinasakh dengan sunah dan ini yang dipilih oleh Syaikhul islam, sedangkan jumhur berpendapat bolehnya nasakh Al Qur'an dengan sunnah, namun contoh yang bisa diterima tidak ditemukan. Wallahu a'lam.
Kaidah Nasikh dan Mansukh
Pertama : Tidak ada nasakh untuk suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syari'at karena adanya udzur, seperti gila, mati dan lain-lain.
Kedua : Hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syari'at dan ia mempunyai waktu yang telah ditentukan sebelumnya waktunya maka tidak disebut nasakh, seperti ayat tentang sholat jum'at.
Ketiga : dalil yang menasikh (menghapus) yang datang kemudian dari dalil yang dimansukh, dan jika dalil tersebut membatasi mengecualikan keumuman atau mengikat syarat mutlak, atau syarat tertentu maka tidak disebut nasakh.
Keempat : Nasakh tidak berlaku pada maksud-maksud (kaidah) syari'at yang bersifat umum seperti kaidah kemudahan dan kemudahan lainnya, tidak pula pada hukum amaliyah yang ditunjukkan oleh dalil bahwa ia untuk-lamanya seperti hadits yang menyebutkan bahwa hijrah akan terputus sampai taubat terputus.
Kelima : Nasikh mansukh harus terjadi ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup, adapun setelah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam wafat maka hukum telah menjadi tetap tidak dapat dihapus oleh ijma' atau pendapat shahabat, atau qiyas atau ro'yu.
Keenam : Nasakh harus ada aturan dengan hukum lain.
Dalam Surat Al Baqarah ayat 106 Allah SWT berfirman:
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan (hapuskan) atau Kami waspadai manusia lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari Anda atau yang sebanding dengannya.” (Al Baqarah : 106).