Masjid Saka Tunggal Banyumas, Satu Tiang Penyangga Usia 734 Tahun
Masjid Saka Tunggal terletak di desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Dari Jalan raya Wangon-Ajibarang, Banyumas, lokasi masjid masuk ke jalan desa sekitar dua kilometer. Jarak dari Kota Purwokerto sekitar 35 kilometer ke arah barat. Masjid Saka Tunggal dikelilingi hutan pinus yang sejuk.
Masjid yang didirikan pada tahun 1288 atau 1522 Masehi ini tercatat sebagai masjid paling tua di Indonesia. Masjid ini berdiri satu masa dengan kerajaan Singasari. Masjid ini satu-satunya di Pulau Jawa yang dibangun sebelum era Wali Songo.
Namun demikian tidak ada bukti secara tertulis melalui dokumen terkait berdirinya Masjid Saka Tunggal. Hanya cerita secara turun temurun dan peninggalan fisik masjid beserta isinya hingga kini.
"Masjid Saka Tunggal berdasarkan penuturan leluhur, orang tua secara turun temurun, disampaikan bahwa Masjid Saka Tunggal didirikan sebelum Masjid Demak. Didirikan mungkin dimasa Majapahit," kata Imam Masjid Saka Tunggal, Sulam. Pria 50 tahun ini juga merupakan satu dari tiga juru kunci masjid setempat.
Satu Tiang Penyangga
Nama resmi masjid ini adalah Masjid Saka Tunggal Baitussalam. Namun lebih populer sebagai Masjid Saka Tunggal. Nama ini dikarenakan masjid tertua ini dulunya hanya memiliki satu tiang penyangga. Tinggi saka tunggal tersebut kurang lebih sekitar 5 meter, dengan diameter 40 sentimeter.
Masjid Saka Tunggal didirikan oleh Kiai Mustolib, seorang tokoh penyiar agama Islam di daerah Cikakak. Masjid berukuran 12 meter x 17 meter.
"Cerita Saka Tunggal yang ada di tengah itu sebagai titik induk untuk berdirinya masjid yang ditopang di sekeliling saka-saka kecil. Filosofi dari saka tunggal adalah bersatunya atau manunggalnya manusia dengan Sang Pencipta. Manusia menghormati Sang Pencipta dan Sang Pencipta menciptakan manusia untuk berbuat hal-hal yang baik,” cerita Sulam.
Papat Kiblat Lima Pancer
Selain tiang penyangga tunggal, pada bagian ujung atas saka tunggal tersebut juga terdapat empat sayap kayu yang disebut 4 kiblat, 5 pancer yaitu menunjuk 4 arah mata angin dan 1 pusat atau arah menunjuk ke atas.
“'Papat kiblat lima pancer' atau empat mata angin serta satu pusat. Maknanya kita itu hidup harus punya kiblat atau pedoman, yaitu Allah,” jelas Sulam.
Empat arah itu juga melambangkan manusia yang terdiri dari unsur air, udara atau angin, api, dan tanah berserta dengan nafsu-nafsu yang menyertainya antara lain aluamah, mutmainah, supiah, dan amarah.
Ciri Khas Masjid Saka Tunggal
Selain mempunyai ciri khas dengan saka tunggalnya, masjid ini juga mempunyai peninggalan bersejarah lainnya, seperti, beduk dengan kentongnya. Masjid ini tidak menggunakan pengeras suara kecuali untuk sholat Idul Fitri dan sholat Idul Adha. Azan dan iqomat di hari-hari biasa tidak pernah menggunakan pengeras suara. Untuk menandakan masuk waktu sholat, pengurus masjid akan membunyikan kentong dan beduk.
Selain itu, ada juga lampu gantung serta mimbar masjid yang masih asli sejak masjid ini berdiri. Pada mimbar masjid terdapat ukiran berupa dua buah surya mandala yang melambangkan dua pedoman umat muslim, yakni Alquran dan Hadits.
Semua itu telah ada sejak masjid tersebut berdiri dan masih dapat berfungsi dengan baik. Ornamen-ornamennya sangat kental dengan simbolisme nilai-nilai Islami yang bersinergi dengan adat-istiadat Jawa. Hal ini menggambarkan harmonisasi Islam dengan budaya lokal yang sudah ada sebelumnya.
Legenda Monyet Ekor Panjang
Masjid ini terkenal unik lantaran masih banyak monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis) yang berkeliaran di sekitar lokasinya. Kera-kera yang berjumlah ratusan tersebut sangat akrab dengan para pengunjung. Kera-kera ini menjadi hiburan tersendiri bagi para pengunjung di sekitar Masjid Saka Tunggal.
Monyet-monyet sekitar di Masjid Saka Tunggal yang saat ini masuk dalam salah satu Cagar Budaya dilindungi. Menurut legenda, monyet-monyet itu merupakan santri-santri yang dikutuk oleh Kiai Mustolib.
Mereka nakal dan tidak melaksanakan sholat, namun malah membuat kegaduhan saat orang-orang tengah melaksanakan sholat. Kiai Mustolib akhirnya marah dan mengutuk satri-santrinya tersebut menjadi monyet, seperti tipikal monyet yang susah diatur, sering ganggu, dan suka mencuri.
Dibalik semua legenda dalam masjid berusia ratusan tahun itu, keheningan dan kedamaian terasa semakin lengkap saat berada di dalamnya. Tembok yang khas terbuat dari anyaman bambu bermotif wajik melapisi bagian interior masjid.
Pemugaran Masjid Saka Tunggal
Rupanya, banyak ornamen asli pada Masjid Saka Tunggal yang sudah mengalami perubahan. Sehingga ornamen aslinya sudah tidak bisa lagi dilihat oleh generasi sekarang.
"Untuk bangunan masjid sudah mengalami perubahan di 1976, untuk melihat ornamen orisinalnya, generasi sekarang tidak bisa melihatnya, karena kehilangan bentuk ornamen di 1976, yang masih utuh hanya saka tinggal," terang Sulam.
Berdasarkan catatan yang ada, Masjid Saka Tunggal masuk dan diakui sebagai salah satu cagar budaya pada 1989 dan 1976 masih bernama Masjid Baitussalam. Tapi jauh sebelum itu, Masjid Saka Tunggal tidak memiliki nama, hanya lebih dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai masjid Cikakak.
Ritual Jaro Rajab
Pada Bulan Rajab, warga di lingkungan Masjid Saka Tunggal ini selalu diadakan ritual pergantian jaro atau pagar bambu yang dikenal dengan Jaro Rajab setiap tanggal 26 Rajab. Dalam kegiatan itu, warga merobohkan pagar-pagar bambu yang berada di sekitar Masjid Saka Tunggal ini.
Pagar bambu yang sudah berusia satu tahun ini selanjutnya diganti dengan pagar bambu yang baru. Cara pembagian kerja warga dalam mengganti pagar bambu ini sendiri sudah spontan dilakukan. Ada yang membelah bambu, membuat saka, membuat tali hingga memasang pagar. Di situ terlihat rasa kebersamaan warga saat hendak menggelar ritual Ganti Jaro Rajab ini.
Sebelum dipasang, potongan bambu yang telah dibelah ini dicuci terlebih dahulu di sungai pintu masuk makam. Terakhir, warga memasang pagar bambu dimulai dari makam Mbah Tolih yang terletak di atas bukit sekitar 100 meter dari Masjid Saka Tunggal. Warga yang memasang ini kebanyakan adalah para keturunan Kiai Mustolib. Pemasangan Jaro Rajab ini juga sebagai ajang silaturahmi para keturunan Kiai Mustolib.
Tradisi Unik
Tradisi unik yang ada di Masjid Saka Tunggal ini antara lain adalah zikir seperti melantunkan kidung Jawa. Keunikan ini cukup terasa pada hari Jumat ketika selama menunggu waktu sholat Jumat dan setelah sholat Jumat, jamaah masjid Saka Tunggal berzikir dan bersholawat dengan nada seperti melantunkan kidung Jawa. Dengan bahasa campuran Arab dan Jawa, tradisi ini disebut tradisi ura-ura.
Keunikan lainnya, sebagaimana dikutip dari Wikipedia, imam masjid tidak menggunakan penutup kepala yang lazimnya digunakan di Indonesia yang biasanya menggunakan peci, kopiah, tapi menggunakan udeng atau pengikat kepala.
Masjid Saka Tunggal juga memiliki empat muazin sekaligus. Mereka berpakaian sama dengan imam, menggunakan baju lengan panjang warna putih, udeng bermotif batik, dan keempat muazin tersebut mengumandangkan azan secara bersamaan.
Uniknya lagi, seluruh rangkaian sholat Jumat dilakukan secara berjemaah, mulai dari salat tahiyatul masjid, qabliah Jumat, sholat Jumat, ba’diah Jumat, begitupun dengan sholat dzuhur, qabliyah, dan ba’diah dzuhur. Semuanya dilakukan secara berjemaah.