Masjid Muria, Wisata Religi di Puncak Gunung
Di sebelah utara Kota Kudus, sekitar 18 km, terdapat sebuah desa bernama Colo, masuk dalam wilayah Kecamatan Gawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Desa kecil itu menjadi terkenal karena terletak makam seorang waliyuilah yang masuk dalam barisan Wali Songo, dengan gelar Sunan Muria.
Nama aslinya adalah Raden Umar Said. Ia mendapat gelar Sunan Muria oleh karena tempat ia berdakwah menyiarkan agama Islam terletak di kaki Gunung Muria. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, ia membangun pesantren dan masjidnya di puncak gunung tersebut, persis di belakang masjid yang dibangunnya sendiri.
Dibutuhkan perjuangan keras untuk mencapai Masjid Muria. Lokasi masjid itu berada di puncak Gunung Muria yang mempunyai ketinggian 1.600 mdpl. Ditambah lagi, untuk menuju ke sana wisatawan harus melalui jalan setapak yang menanjak. Ada sebanyak 430 anak tangga.
Ketika menapaki anak tangga untuk sampai ke puncak, pengunjung akan melihat para pedagang di kanan dan kiri. Macam-macam barang diperdagangkan mulai dari parijoto, yang merupakan buah asli Gunung Muria, dan dipercaya menyuburkan kandungan. Kemudian ada juga berbagai perlengkapan sholat, aneka suvenir dan kuliner.
Tetapi, jika Anda tidak sanggup jalan kaki, tersedia ojek sepeda motor.
Asal Usul Sunan Muria
Asal-usul Sunan Muria, tanggal kelahiran, kematian, dan ajarannya mungkin adalah yang paling sedikit tercatat dalam biografi sejarah diantara para Wali Songo. Para ahli masih berselisih apakah dia anak Sunan Kalijaga atau putra Raden Usman Haji Sunan Mandalika dari Jepara. Sebab tidak banyak sumber yang menjelaskan tentang Sunan Muria. Tetapi kenangannya terus hidup hingga menarik beribu-ribu peziarah untuk mengunjungi makam dan masjidnya.
Masjid ini sebagai simbol dakwah Sunan Muria di lereng Gunung Muria, dalam mendakwahkan Islam kepada masyarakat sekitar yang pada waktu itu banyak yang memeluk Hindu dan Budha. Pemilihan untuk berdakwah di Gunung Muria sendiri, sebagai salah satu bagian dari identitas dan sifat Sunan Muria, yang tidak suka dengan popularitas, sehingga beliau memilih berdakwah di lereng Gunung Muria.
Sunan Muria rela meninggalkan kesultanan Demak yang dibangunnya bersama wali lainnya dalam mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama, namun ia memilih hijrah untuk mencari ketenangan dan mendekat dengan rakyat dibanding kekuasaan.
Sejarah Masjid Muria
Kebanyakan masjid yang dibangun di Pulau Jawa memiliki sisi historis yang sangat menarik, seperti Masjid Sunan Muria ini. Masjid ini dibangun sekitar abad ke-15 hingga abad ke-16 Masehi. Bisa kita bayangkan bagaimana susahnya membawa alat dan bahannya ke puncak gunung sehingga bisa membangun masjid pada masa itu.
Menurut sejarah, Sunan Muria menyebarkan agama Islam kepada masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Muria. Konon diceritakan, nama Muria berasal dari nama bukit yang terdapat di sekitar Yerusallem. Bukit tersebut bernama “Moriah”, dan kabarnya dulu Nabi Daud dan Nabi Sulaiman membuat rumah ibadah di puncak Bukit Moriah.
Masjid Sunan Muria diperkirakan dibangun pada abad ke-15 hingga ke-16 Masehi. Di dalam masjid sendiri ada peninggalan Sunan Muria berupa mimbar dan juga tempat imam salat yang dilindungi cungkup dari batu. Pondasi masjid juga terlihat peninggalan era Sunan Muria.
Konon dikutip dari buku 'Sunan Muria Today', yang diterbitkan pengelola Makam Sunan Muria, masjid ini pernah dibakar Sunan Muria, karena waktu itu dipuji Sunan Kudus, masjidnya bagus. Sunan Muria tak suka pujian, dan karena khawatir menjadi sombong, masjid dia bakar.
Bangunan sudah Tidak Asli
Masjid Muria telah dipugar sehingga hilang keasliannya, kecuali hanya beberapa bagian saja yang masih asli. Itu pun tidak luput dari pemugaran. Saat ini masjid itu dibagi dua, yaitu masjid yang khusus untuk kaum pria, di dalamnya kita masih bisa beberapa peninggalan asli Sunan Muria, seperti mihrab (tempat imam).
Mihrab tersebut terbuat dari batu yang disusun tanpa semen, di mana bagian luar dihiasi dengan ukiran ada juga Umpak Batu, tempat penyangga tiang masjid sebanyak empat buah, yang konon dibawa dari Pulau Bali, dan sebuah beduk. Beduk itu dibuat dari kayu jati pada tahun 1884 M. Di atas beduk ini terdapat ukiran naga dan ayam jantan yang menyimbolkan perpaduan budaya antara Jawa dan Tiongkok.
Setiap bagian ujung kanan dan kirinya, dihiasi dengan piringan keramik kuno yang berjumlah 30, terdiri 20 piringan kuning dan 10 piringan hijau. Sedangkan beberapa bagian atap mihrab terdapat keramik yang berisi tulisan Arab, yang merupakan wiridan Sunan Muria.
Sedangkan, masjid yang khusus untuk wanita adalah tambahan baru hasil renovasi tahun 1976 yang peresmiannya dilakukan oleh Bupati KDH Tingkat II Kudus pada tahun 1978.
Ziarah Makam
Setelah selesai di masjid, para wisatwan religi kemudian melanjutkan perjalanan dengan menyambangi makam. Sebelum masuk ke area makam, ada petugas yang berjaga. Peziarah diarahkan berwudhu terlebih dahulu. Di dekat tangga naik ke area makam memang ada tempat wudhu.
Apabila selesai berwudu akan dipersilakan masuk ke bagian dalam. Peziarah tidak langsung masuk ke area makam, tetapi akan berjalan berputar dahulu ke beberapa area bangunan. Ini mungkin guna mengurangi penumpukan di kawasan makam.
Ada juga penjaga makam di beberapa titik. Dan sebelum masuk ke bagian inti, ada petugas pendaftaran. Kalau mau menuliskan nama sebagai peziarah dipersilakan, di sini juga dijual buku sejarah Sunan Muria.
Setelah itu peziarah bisa masuk ke dalam area makam Sunan Muria. Pada Selasa siang itu, di makam tampak penuh. Makam itu sendiri tak bisa dilihat karena ditutupi kain putih. Lantunan pembacaan surah Yassin dan tahlil terdengar jelas dari mulut peziarah. Beberapa orang terlihat berdoa dengan khusyuk.
Sebelum masuk ke area makam, ada tulisan besar dan jelas, para peziarah diminta berdoa dan meminta hanya kepada Allah. Banyak peziarah yang berlama-lama di depan makam, karena memang tidak dibatasi waktunya.
Setelah selesai bertakziah di makam, peziarah biasanya meminta air. Banyak juga peziarah yang membawa botol air mineral atau meminum langsung air dari mata air di dekat makam. Percaya tidak percaya banyak peziarah yang meyakini air yang dahulu digunakan Sunan Muria untuk berwudhu dan juga untuk kebutuhan dapur itu berkhasiat.
Makam Sunan Muria
Pada tiap Kamis Legi dan Jumat Pahing, banyak orang berziarah ke makam Sunan Muria. Ketika memasuki pintu gerbang makam, wisatawan akan dihadapkan pada pelataran yang dipenuhi 17 batu nisan. Menurut juru kunci makam, nisan itu merupakan makam para prajurit dan punggawa kraton.
Sementara itu, makam Sunan Muria berada di sebuah bangunan cungkup beratap sirap dua tingkat. Di sebelah timur makam itu terdapat nisan yang konon menjadi makam putri Sunan Muria, Raden Ayu Nasiki.
Di sebelah barat dinding belakang masjid terdapat makam Panembahan Pengulu Jogodipo yang merupakan putra sulung dari Sunan Muria.
Peninggalan Sunan Muria Lainnya
Masjid Muria bukanlah satu-satunya masjid yang dibangun oleh Sunan Muria, di mana sebelumnya beliau pernah membangun masjid di Desa Kajar yang sampai saat ini masih menjadi petilasan yang dikenal dengan Pesiget. Namun untuk dakwah di sana Sunan Muria kurang nyaman untuk menyiarkan agama Islam.
Kemudian Sunan Muria berpindah-pindah ke tempat yang lebih tenang. Selanjutnya, ia membangun masjid di Bukit Pethoko. Akan tetapi, karena bising dengan suara anjing menggonggong, akhirnya Sunan Muria pindah lagi dan akhirnya membangun masjid disalah satu puncak Gunung Muria.
Sunan Muria dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak suka kemewahan serta popularitas. Mempunyai sifat kesederhanaan tersebut ditunjukkan dengan pemilihan pegunungan Muria, untuk hidup dan berdakwah. Pertama kalinya Sunan Muria membangun masjidnya dengan kayu dan beratap dedaunan.
Ketika masjid ini mendapatkan sebuah pujian dari Sunan Kudus, karena terlihat bersinar bangunan masjidnya. Karena pujiannya tersebut, akhirnya Sunan Muria membakarnya. Hal ini membuktikan sosok kesederhanaan Sunan Muria yang tidak suka dengan pujian, namun usai dibakar, ia membangun kembali masjid tersebut dengan bangunan dan atap yang sederhana.
Selain Masjid Sunan Muria, ada beberapa peninggalan yang masih ada sampai saat ini adalah gentong (wadah air). Untuk lokasi gentongnya terdapat di selatan makam atau area pintu keluar makam Sunan Muria. Biasanya para penziarah di Sunan Muria ini, memanfaatkan air dari gentong ini untuk minum dan ada juga yang bawa pulang dimasukkan botol.
Karena dapat dipercaya, bahwa airnya mempunyai keberkahan dan bisa menyembuhkan penyakit. Sumber asli air yang di gentong tersebut berasal dari mata air yang dipercaya sebagai tempat wudhu Sunan Muria yaitu Sendang Rejoso.
Masih ada beberapa yang di anggap sebagai peninggalan Sunan Muria, selain masjid dan gentong. Ada juga peninggalannya seperti pelana kuda yang setiap tahun ada tradisi rutin untuk membasuhnya, yang bernama tradisi Ngguyang Cekathak.
Tradisi ini dilakukan ketika musim kemarau tiba tepatnya pada hari Jumat Wage, sebagai sebuah tradisi yang dipercaya bisa mendatangkan hujan, karena tradisi tersebut sudah dilakukan masyarakat setempat sebelum Sunan Muria berdakwah di lokasi tersebut.