Masjid Agung Kota Gede Yogyakarta, Warisan Kerajaan Mataram Islam
Masjid Kota Gede, bangunan tempat ibadah Islam yang tertua di Yogyakarta. Bangunan itu merupakan tempat yang sering kali hanya dilewati ketika wisatawan hendak menuju kompleks pemakaman raja Mataram, padahal pesona bangunannya tak kalah menarik. Tentu, banyak pula cerita yang ada pada setiap piranti di masjid yang berdiri sekitar tahun 1640-an ini.
Tempat ibadah bagi umat Islam ini juga dikenal dengan nama lain Masjid Agung Mataram Kota Gede, hal ini berkaitan dengan pembangunan masjid yang dilakukan pada masa Kerajaan Mataram.
Panembahan Senopati Sutowijoyo adalah pendiri Kesultanan Mataram, dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Memerintah Kesultanan Mataram sejak 1587-1601. Masjid Kota Gede Mataram didirikan pada awal kepemimpinannya.
Awalnya masjid tersebut berukuran kecil. Tak heran waktu itu masih disebut langgar atau mushola yang artinya masjid kecil.
Saat Sultan Agung, yang merupakan Sultan Mataram Islam III memimpin Mataram Islam (1613-1645), Mataram Islam mengalami masa jaya. Kesultanan Mataram berkembang pesat, menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara. Pada masa pemerintahannya pula, masjid yang masih berukuran kecil kembali dibangun lebih besar, tepatnya pada 1640.
Masjid dibangun dan dibantu warga setempat yang masih beragama Hindu dan Budha. Tak heran, arsitektur bangunannya kental dengan nuansa Hindu dan Budha. Pengaruh arsitektur Hindu dan Budha juga terlihat dalam sejumlah ornamen masjid.
Sumber lain mengatakan, masjid dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data prasasti yang berhuruf Arab dan berbahasa Jawa. Prasasti yang terdapat di masjid tersebut menerangkan bahwa masjid didirikan pada hari Ahad Kliwon tanggal 6 Rabiulakhir 1188 H atau 6 Rabiulakhir tahun Alip 1699 JW (pura trus winayang jalma). Menurut tarikh Masehi tanggal tersebut merupakan tanggal 27 Juni tahun 1773.
Area Masjid
Sebelum memasuki kompleks masjid, akan ditemui sebuah pohon beringin yang konon usianya sudah ratusan tahun. Pohon itu tumbuh di lokasi yang kini dimanfaatkan untuk tempat parkir. Karena usianya yang tua, penduduk setempat menamainya "Wringin Sepuh" dan menganggapnya mendatangkan berkah. Keinginan seseorang, menurut cerita, akan terpenuhi bila mau bertapa di bawah pohon tersebut hingga mendapatkan dua lembar daun jatuh, satu tertelungkup dan satu lagi terentang.
Berjalan mendekat ke arah kompleks masjid, akan ditemui sebuah gapura yang berbentuk paduraksa. Persis di bagian depan gapura, akan ditemui sebuah tembok berbentuk huruf L. Pada tembok itu terpahat beberapa gambar yang merupakan lambang kerajaan. Bentuk paduraksa dan tembok L itu adalah wujud toleransi Sultan Agung pada warga yang ikut membangun masjid yang masih memeluk agama Hindu dan Budha.
Prasasti dan Beduk
Memasuki halaman masjid, akan ditemui sebuah prasasti yang berwarna hijau. Prasasti setinggi 3 meter itu merupakan pertanda bahwa Paku Buwono pernah merenovasi masjid ini. Bagian dasar prasasti berbentuk bujur sangkar dan di bagian puncaknya terdapat mahkota lambang Kasunanan Surakarta. Sebuah jam diletakkan di sisi selatan prasasti sebagai acuan waktu sholat.
Prasasti itu membuktikan bahwa Masjid Kota Gede mengalami dua tahap pembangunan. Tahap pertama yang dibangun pada masa Sultan Agung hanya merupakan bangunan inti masjid yang berukuran kecil. Karena kecilnya, masjid itu dulunya disebut Langgar. Bangunan kedua dibangun oleh raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X.
Perbedaan bagian masjid yang dibangun oleh Sultan Agung dan Paku Buwono X ada pada tiangnya. Bagian yang dibangun Sultan agung tiangnya berbahan kayu sedangkan yang dibangun Paku Buwono tiangnya berbahan besi.
Bangunan inti masjid merupakan bangunan Jawa berbentuk limasan. Cirinya dapat dilihat pada atap yang berbentuk limas dan ruangan yang terbagi dua, yaitu inti dan serambi.
Sebuah parit yang mengelilingi masjid akan dijumpai sebelum memasuki bangunan inti masjid. Parit itu di masa lalu digunakan sebagai saluran drainase setelah air digunakan wudhu di sebelah utara masjid.
Kini, warga setempat memperbaiki parit dengan memasang porselen di bagian dasar parit dan menggunakannya sebagai tempat memelihara ikan. Untuk memudahkan warga yang ingin beribadah, dibuat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu-kayu yang disusun berderet.
Pada bagian luar inti masjid terdapat beduk tua yang bersebelahan dengan kentongan. Beduk yang usianya tak kalah tua dengan masjidnya itu merupakan hadiah dari seseorang bernama Nyai Pringgit yang berasal dari desa Dondong, wilayah di Kabupaten Kulon Progo. Atas jasanya memberikan beduk itu, keturunan Nyai Pringgit diberi hak untuk menempati wilayah sekitar masjid yang kemudian dinamai Dondongan. Sementara beduk pemberiannya, hingga kini masih dibunyikan sebagai penanda waktu sholat.
Selain itu, sebuah mimbar untuk berkhotbah yang terbuat dari bahan kayu yang diukir indah dapat dijumpai di bagian dalam masjid, sebelah tempat imam memimpin sholat. Mimbar itu juga merupakan pemberian. Saat Sultan Agung menunaikan ibadah haji, ia mampir ke Palembang untuk menjenguk salah satu adipati di tempat itu.
Sebagai penghargaannya, adipati Palembang memberikan mimbar tersebut. Mimbar itu kini jarang digunakan karena sengaja dijaga agar tidak rusak. Sebagai pengganti mimbar itu, warga setempat menggunakan mimbar kecil untuk kepentingan ibadah sehari-hari.
Berjalan mengelilingi halaman masjid, akan dijumpai perbedaan pada tembok yang mengelilingi bangunan masjid. Tembok bagian kiri terdiri dari batu bata yang ukurannya lebih besar, warna yang lebih merah, serta terdapat batu seperti marmer yang di permukaannya ditulis aksara Jawa. Sementara tembok yang lain memiliki batu bata berwarna agak muda, ukuran lebih kecil, dan polos.
Tembok yang ada di kiri masjid itulah yang dibangun pada masa Sultan agung, sementara tembok yang lain merupakan hasil renovasi Paku Buwono X. Tembok yang dibangun pada masa Sultan agung berperekat air aren yang dapat membatu sehingga lebih kuat.
Filosofi Catur Gatra Tunggal
Masjid Agung Kota Gede sarat filosofi. Pembangunan masjid tak terlepas dari filosofi Catur Gatra Tunggal yang berarti empat wujud menjadi satu. Keempatnya yaitu kerajaan, masjid, alun-alun dan pasar.
Masjid sebagai simbol Ketuhanan Yang Maha Esa. Kerajaan simbol kepemimpinan. Alun-alun simbol demokrasi dan pasar simbol kemakmuran.
Catur Gatra Tunggal kalau sekarang itu seperti landasan ideal tapi ini di kerajaan. Setiap kesultanan pasti ada ini dan inspirasinya dari Sunan Kalijaga sebagai pendiri Kesultanan Demak. Dengan filosofi ini, keberadaan Masjid Kotagede amat penting bagi Kesultanan Mataram.
Kompleks Makam
Bangunan makam tertua adalah makam yang berada di dalam bangunan Tajug. Di dalam bangunan ini terdapat tiga makam. Menurut riwayat sewaktu Nyai Ageng Enis (Ibu Pemanahan) meninggal dunia jenazahnya dimakamkan di dalam bangunan langar.
Pemanahan sendiri juga memberikan pesan kepada anaknya jika ia meninggal kelak jenazahnya dimakamkan di dekat Nyai Ageng Enis. Jika cerita ini benar maka dapat diambil kesimpulan bahwa sewaktu Pemanahan hidup, masjid belum ada karena Pemanahan meninggal dunia pada tahun 1575 Masehi, maka masjid dibangun setelah Pemanahan meninggal dunia.
Cagar Budaya
Sampai sekarang Masjid Agung Kota tetap kokoh berdiri. Keberadaannya sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan dilindungi dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Wisatawan sering mengunjungi kompleks masjid ini, terutama untuk wisata budaya dan religi. Karena di kompleks masjid ini, tepatnya di sebelah kiri masjid merupakan makam raja-raja Mataram. Salah satunya yang dimakamkan di tempat tersebut adalah Panembahan Senopati yang merupakan pendiri Mataram Islam sekaligus pendiri masjid.
Secara administratif, Masjid Kota Gede terletak pada Jalan Watu Gilang, Kota Gede. Untuk mencapai lokasi dari masjid ini, wisatawan setidaknya harus menempuh jarak kurang lebih 7 kilometer atau melakukan perjalanan selama 30 menit dari pusat Kota Yogyakarta. Lokasi dari masjid ini juga sangat dekat dengan Pasar Kota Gede yang melegenda tersebut.
Untuk menuju lokasi, wisatawan tak perlu bingung karena aksesnya yang terbilang cukup mudah. Wisatawan dapat menggunakan kendaraan pribadi, ataupun memanfaatkan transportasi umum di Yogyakarta seperti becak, ojek, TransJogja, taksi dan masih banyak lagi. Jika Anda belum mengetahui lokasinya, juga tersedia beberapa jasa tour and travel ke Kota Gede yang dapat dimanfaatkan wisatawan.