Masjid Agung Banten Peninggalan Putra Sunan Gunung Jati
Masjid Agung Banten terletak di Desa Banten Lama, Kecamatan Kesemen, Kabupaten Serang, Banten, atau sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang. Bangunan masjid ini berbatasan dengan perkampungan di sebelah utara, barat, dan selatan, alun-alun di sebelah timur, dan benteng keraton di tengah.
Akses ke lokasi dapat dituju dengan kendaraan pribadi atau kendaraan umum. Dari terminal Terminal Pakupatan, Serang menggunakan bis jurusan Banten Lama atau mencarter mobil angkutan kota menuju lokasi selama lebih kurang setengah jam.
Berdirinya Masjid Agung Banten masih berhubungan erat dengan sejarah Kesultanan Banten. Masjid pertama kali dibangun di masa pemerintahan Sultan Banten pertama, Maulana Hasanuddin, pada 1552-1570 Masehi. Masjid berumur lebih dari 4 abad.
Sultan Maulana Hasanuddin merupakan anak Sunan Gunung Jati, penguasa Cirebon juga seorang ulama Wali Songo yang merintis dakwah agama Islam di Jawa, termasuk Banten.
Pembangunan Masjid Agung Banten kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan penguasa Kesultanan Banten berikutnya yaitu Sultan Maulana Yusuf (1570-1580).
Masjid Agung Banten menjadi salah satu bukti kejayaan kota pelabuhan Banten yang masih berdiri hingga saat ini. Meski keadaannya tidak seperti pada saat didirikan, tetapi kondisinya tetap terpelihara dengan baik.
Arsitektur Masjid Agung Banten
Bangunan Masjid Agung Banten memiliki luas 1,3 hektar dengan dikelilingi tembok dengan ketinggian satu meter. Seperti juga masjid-masjid lainnya, bangunan induk masjid denahnya berupa segi empat. Atapnya merupakan atap bersusun lima dengan bagian kiri dan kanannya terdapat masing-masing serambi. Serambi masjid kemungkinan dibangun belakangan.
Sekilas bentuk bangunan Masjid Agung Banten terlihat seperti pendopo. Atap bangunannya bertumpuk lima seperti pagoda China.
Masjid Agung Banten memiliki banyak makna filosofis pada setiap detailnya. Enam pintu masjid menggambarkan rukun iman. Pintu masuk tersebut sengaja dibuat pendek sehingga memaksa pengunjung merunduk sebagai simbol ketundukan kepada Sang Pencipta. Adapun tiang masjid terdiri dari 24 buah sebagai simbol waktu 24 jam.
Elemen unik lainnya adalah umpak dari batu andesit berbentuk labu berukuran besar dan beragam di setiap dasar tiang masjid. Yang berukuran terbesar dengan garis labu terbanyak adalah umpak pada empat tiang soko guru di tengah-tengah ruang sholat.
Di bagian depan ruang utama terdapat mimbar besar antik yang penuh motif hias dan kombinasi warna. Mimbar ini dinaungi atap bergaya Cina. Mihrab yang menjadi tempat iman memimpin sholat. Mihrab berbentuk ceruk berukuran sangat kecil, sempit, dan sederhana. Pada bagian tangga pada masjid itu memiliki model menyerupai goa, yang menurut sejarah pembangunannya dilakukan atas bantuan seorang arsitektur asal Mongolia bernama Tjek Ban Tjut.
Atas jasa-jasanya menegakkan simbol kebesaran Islam itu, Tjek Ban Tjut dianugerahi gelar bangsawan dari kesultanan dengan nama Pangeran Adiguna.
Bagian Selatan dari Masjid Agung Banten terdapat bangunan yang dinamakan Tiamah. Bentuknya berupa segi empat panjang dan bertingkat. Bangunan ini mempunyai langgam arsitektur Belanda kuno dan menurut sejarah didesain pula oleh Hendrick Lucazoon Cardeel. Ia kemudian diketahui memeluk Islam mendapatkan gelar Pangeran Wiraguna.
Dahulu bangunan ini dipergunakan sebagai tempat musyawarah dan berdiskusi tentang soal-soal keagamaan. Sekarang Tiamah digunakan untuk menyimpan benda-benda peninggalan Kesultanan Banten.
Terdapat juga bangunan pawestren letaknya berdampingan dengan ruang utama. Dikutip dari laman Warisan Budaya Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdibud) RI, pawestren adalah ruangan yang menempel pada dinding sebelah masjid dan merupakan tempat sholat perempuan.
Menara Masjid
Pada sisi timur dari mesjid tersebut terdapat menara yang berdiri dengan ketinggian 30 meter dengan diameter bagian pangkalnya 10 meter. Catatan Dirk van Lier dari tahun 1659 menyebut bahwa menara ini dulunya digunakan sebagai tempat mengumandangkan azan dan penyimpanan senjata. Selain itu, menara juga digunakan untuk melihat atau mengawasi perairan laut.
Konon menara ini dibangun semasa kekuasaan Sultan Haji pada tahun 1620 oleh seorang arsitek Belanda, Hendrik Lucazoon Cardeel. Pada waktu itu, Cardeel memang membelot ke pihak Banten, dan kemudian dianugerahi gelar Pangeran Wiraguna.
Di bagian dalam menara tersebut terdapat sebuah tangga untuk menuju bagian atasnya. Tangga tersebut melingkari menara pada bagian tepi dalamnya dengan lorong sempit yang hanya cukup dilewati oleh satu orang saja.
Untuk mencapai bagian atas bangunan, wisatawan perlu menapaki 83 buah anak tangga. Mohon maaf, jika Anda memiliki ukuran tubuh yang besar, kemungkinan tidak akan bisa melewatinya.
Dari bagian atas menara ini, kita dapat melihat pemandangan di sekitar mesjid termasuk lautan lepas dengan perahu-perahu nelayannya. Jarak antara menara ini dengan pantai tidaklah jauh yakni kurang lebih 1,5 km, sehingga cukup jelas untuk memantau kesibukan di perairan laut Banten.
Kompleks Makam
Di dalam serambi kiri, yang merupakan bagian utara dari mesjid, terdapat makam-makam dari beberapa sultan Banten dan keluarganya, di antaranya makam Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar. Sedangkan di dalam serambi kanan, yang terletak di selatan, terdapat pula makam-makam Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin dan lain-lainnya.
Dengan adanya makam-makam kuno kesultanan Banten nampaknya semakin menjadikan mesjid ini ramai dikunjungi untuk wisata ziarah terutama di hari-hari libur maupun di hari-hari besar umat Islam lainnya.
Toleransi Beragama
Meskipun Islam mendominasi kehidupan politik dan kebudayaan di Kesultanan Banten, namun tidak menutup kemungkinan agama lain menjalankan ritualnya di sana. Hal ini dibuktikan dengan adanya bangunan kelenteng yang merupakan pusat peribadatan etnis cina pada masa tersebut.
Dengan kata lain, Masjid Agung Banten memang sarat dengan nuansa keagamaan Islam yang telah dipadu dengan budaya Barat dan Cina pada arsitektur bangunannya.
Pemugaran
Selama berdiri dari tahun 1923 hingga 1987, Masjid Agung Banten telah mengalami delapan kali pemugaran. Pada tahun 1923, dilaksanakan pemugaran oleh Dinas Purbakala dan tahun 1930 dilakukan penggantian tiang-tiang kayu yang rapuh.
Tahun 1945, Tubagus Chotib selaku Residen Banten bersama masyarakat melaksanakan perbaikan atap cungkup penghubung di kompleks pemakaman utara. Pemugaran menara masjid dilakukan tahun 1966/1967 oleh Dinas Purbakala. Lalu Korem 064 Maulana Yusuf memperbaiki bagian etemit langit-langit pada tahun 1969.
Serambi bagian timur dipugar pada tahun 1970 dengan dana dari Yayasan Quran. Pertamina juga pernah memugar kompleks masjid pada bagian lantai ruang utara, atap serambi pemakaman selatan, bak wudhu, dan keran air di serambi utara, dan pagar tembok keliling kompleks dengan lima gapura. Penggantian serambi utara dan penggantian cungkup makam Sultan Hasanuddin dengan marmer dilakukan tahun 1987.
Hal lain yang mencuri perhatian dari Masjid Agung Banten adalah kemegahan halamannya. Di halaman yang sangat luas itu, wisatawan dapat menemukan sejumlah payung raksasa elektrik layaknya di Masjid Nabawi, Arab Saudi.
Payung-payung itu memang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Selain itu, di sekitar halaman juga terdapat taman-taman hijau yang membuat suasana menjadi sejuk.
Masjid ini selesai direvitalisasi pada 2019 dan kini dijadikan sebagai salah satu objek wisata religi di Banten, di samping berfungsi sebagai rumah ibadah dan pusat syiar Islam.