Inilah Makna di Balik Isi Kandungan Surat Al Maun
Surat Al Maun dalam Al-Quran menjelaskan tentang sikap seorang pendusta agama yang menghardik anak yatim, bersikap riya, lalai dalam sholat, dan tidak meminjamkan barang-barang berguna kepada orang lain.
Inti Surat Al Maun ini adalah ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial.
Memang, Surah Al-Maun mengajarkan umat Islam untuk selalu berbuat amal sosial. Bahkan, Surah Al-Maun dengan tegas menyebut bahwa mereka yang mengabaikan anak yatim dan tak berusaha mengentaskan masyarakat dari kemiskinan sebagai pendusta agama.
Selain itu, Surah Al-Maun juga menegaskan bahwa praktik-praktik ritual keagamaan menjadi tidak berarti apabila para pelakunya memilih untuk berdiam diri apabila melihat masalah-masalah yang ada di masyarakat.
Surat Al Maun adalah surat ke-107 dalam Al-Quran dan terdiri dari tujuh ayat. Surat ini termasuk golongan surat Makiyah. Arti Al Maun adalah “barang-barang berguna”.
Kata Al Maun dapat diartikan sebagai turunan dari zakat yang diwajibkan atau dapat juga dipahami sebagai barang-barang berguna yang ditahan. Harta yang sudah sampai nishab (batas minimal) dan haul (selama setahun) wajib dikeluarkan zakatnya. Zakat bertujuan untuk memberdayakan orang-orang yang memiliki potensi tapi terhalang oleh berbagai rintangan.
Selain zakat, contoh penerapan surat Al Maun dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, jika kita memiliki kelebihan makanan, maka bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Jangan sampai membusuk lalu dibuang karena itu termasuk mubazir.
Sikap mubazir atau boros tidak disukai Allah sebagaimana tercantum dalam surat Al Isra ayat 27, “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Maka dari itu, memahami Surat Al Maun dapat menghindarkan dari perbuatan mubazir.
Surat Al Maun dan Makna Tafsirnya
Berikut bacaan Surat Al Maun dan artinya.
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ 1.
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ 2.
Maka itulah orang yang menghardik anak yatim,
وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ 3.
dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ 4.
Maka celakalah orang yang sholat,
الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ 5.
(yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya,
الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ 6.
yang berbuat riya,
وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ 7.
dan enggan (memberikan) bantuan.
Kandungan Surat Al Maun
Kandungan surat Al Maun secara garis besar menggambarkan sifat manusia yang mendustakan agama dan ancaman bagi orang yang lalai dalam salat serta bersikap riya, yaitu melakukan perbuatan bukan untuk mencari keridaan Allah. Tetapi, untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat.
Pada ayat pertama, terdapat lafaz a-ra'aita yang berarti “tahukah”. Penggunaan kata tersebut bertujuan untuk menggugah hati pendengar agar memberikan perhatian terhadap kandungan pada ayat-ayat selanjutnya.
Menurut tafsir Kementerian Agama, kandungan ayat pertama adalah Allah menghadapkan pertanyaan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (SAW), "Apakah engkau mengetahui orang yang mendustakan agama dan yang dimaksud dengan orang yang mendustakan agama?"
Pertanyaan ini dijawab pada ayat-ayat selanjutnya. Allah kemudian menjelaskan, sebagian dari sifat-sifat orang yang mendustakan agama adalah menolak dan membentak anak yatim yang datang untuk memohon belas-kasih demi kebutuhan hidup.
Penolakan terhadap anak yatim tersebut menunjukkan sifat penghinaan dan takabur, yaitu merasa diri lebih besar derajatnya dari orang lain. Sifat takabur merupakan sifat tercela yang tidak disukai Allah.
Di kalangan ulama sifat takabur dijelaskan melalui riwayat dari Imam Shadiq, "Sesungguhnya, orang-orang yang takabur (di akhirat) akan menjelma menjadi kawanan semut yang lemah dan orang-orang menginjak-injaknya sampai Allah menyelesaikan perhitungan."
Pada ayat ketiga, tafsir Kementerian Agama menjelaskan, Allah menegaskan sifat pendusta adalah orang tidak mengajak orang lain untuk membantu dan memberi makan penduduk miskin. Jika seorang tidak sanggup membantu orang-orang miskin, maka dianjurkan mengajak orang lain membantu orang-orang miskin.
Kemudian pada ayat keempat, Allah mengungkapkan bahwa orang-orang yang mengerjakan salat tapi tidak sampai ke hatinya akan celaka.
Kelalaian dalam mengerjakan sholat membuat ia tidak menyadari apa yang diucapkan dan dikerjakan. Orang yang lalai dalam salat hanya bergerak dan mengucapkan hafalan tanpa meyakini dalam hati.
Meski demikian, ancaman celaka itu tidak ditujukan kepada orang-orang Muslim yang awam dan tidak mengerti bahasa Arab. Jadi, mereka yang tidak memahami makna bacaan dalam salat tidak termasuk orang-orang yang lalai seperti yang disebut dalam ayat ini.
Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah orang-orang munafik yang mengerjakan salatnya terang-terangan, sedangkan dalam kesendiriannya mereka tidak sholat. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: bagi orang-orang yang salat. (Al-Ma'un: 4) Yaitu mereka yang sudah berkewajiban mengerjakan sholat dan menetapinya, kemudian mereka melalaikannya.
Hal ini adakalanya mengandung pengertian tidak mengerjakannya sama sekali, menurut pendapat Ibnu Abbas, atau mengerjakannya bukan pada waktu yang telah ditetapkan baginya menurut syara'; bahkan mengerjakannya di luar waktunya, sebagaimana yang dikatakan oleh Masruq dan Abud Duha.
Ata ibnu Dinar mengatakan bahwa segala puji bagi Allah yang telah mengatakan dalam firman-Nya: yang lalai dari sholatnya. (Al-Ma'un: 5) Dan tidak disebutkan "yang lalai dalam salatnya". Adakalanya pula karena tidak menunaikannya di awal waktunya, melainkan menangguhkannya sampai akhir waktunya secara terus-menerus atau sebagian besar kebiasaannya. Dan adakalanya karena dalam menunaikannya tidak memenuhi rukun-rukun dan persyaratannya sesuai dengan apa yang diperintahkan. Dan adakalanya saat mengerjakannya tidak khusyuk dan tidak merenungkan maknanya. Maka pengertian ayat mencakup semuanya itu. Tetapi orang yang menyandang sesuatu dari sifat-sifat tersebut berarti dia mendapat bagian dari apa yang diancamkan oleh ayat ini. Dan barang siapa yang menyandang semua sifat tersebut, berarti telah sempurnalah baginya bagiannya dan jadilah dia seorang munafik dalam amal perbuatannya.
Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda:
«تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَ أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهُ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا»
Itu adalah salatnya orang munafik, itu adalah salatnya orang munafik, itu adalah salatnya orang munafik. Dia duduk menunggu matahari; dan manakala matahari telah berada di antara kedua tanduk setan (yakni akan tenggelam), maka bangkitlah ia (untuk salat) dan mematuk (salat dengan cepat) sebanyak empat kali, tanpa menyebut Allah di dalamnya melainkan hanya sedikit.
Ini merupakan gambaran Sholat Ashar di waktu yang terakhirnya, Sholat Ashar sebagaimana yang disebutkan dalam nas hadis lain disebut sholat wusta, dan yang digambarkan oleh hadis adalah batas terakhir waktunya, yaitu waktu yang dimakruhkan. Kemudian seseorang mengerjakan sholatnya di waktu itu dan mematuk sebagaimana burung gagak mematuk, maksudnya ia mengerjakan salatnya tanpa tumaninah dan tanpa khusyuk. Karena itulah maka dikecam oleh Nabi SAW. bahwa orang tersebut tidak menyebut Allah dalam salatnya, melainkan hanya sedikit (sebentar). Barangkali hal yang mendorongnya melakukan salat tiada lain pamer kepada orang lain, dan bukan karena mengharap rida Allah. Orang yang seperti itu sama kedudukannya dengan orang yang tidak mengerjakan salat sama sekali.
Allah Swt. telah berfirman:
إِنَّ الْمُنافِقِينَ يُخادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ وَإِذا قامُوا إِلَى الصَّلاةِ قامُوا كُسالى يُراؤُنَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di Hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (An-Nisa: 142)
Tentang Pendusta Agama
Selanjutnya, dijelaskan bahwa sifat orang pendusta agama adalah mereka yang melakukan perbuatan amal hanya untuk riya, yaitu ingin mendapatkan pujian saja tanpa rida Allah.
Dalam buku Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, contoh riya' dalam perbuatan adalah sengaja memperbanyak sholat sunah di hadapan orang agar dikatakan sebagai orang saleh. Riya dibagi menjadi dua, yaitu: Riya jali (riya yang nyata): Riya yang sejak semula diniatkan bahwa amal yang dilakukan hanya untuk mencari kedudukan, bukan mengharap rida Allah.
Riya khafi (riya tersembunyi): Riya yang bukan bertujuan untuk mendapatkan kedudukan. Tetapi, ada tujuan lain yang tersembunyi dalam perbuatan yang dilakukan.
Riya adalah salah satu tanda-tanda orang munafik dan termasuk mereka yang celaka di akhirat nanti, sebagaimana dijelaskan dalam surat An Nisa ayat 142, “Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud riya' (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.”
Lalu pada terakhir, Allah menegaskan sikap pendusta agama adalah enggan memberikan bantuan kepada sesama, bahkan untuk sekadar meminjamkan barang keperluan sehari-hari yang sepele. Sikap tersebut menunjukan keburukan akhlak terhadap orang lain.
Dengan demikian, pendusta agama tidak beribadah kepada Allah dengan sempurna, serta tidak berbuat baik kepada manusia.
Pada bagian lain, Tafsir Ibnu Katsir menguraikan:
Firman Allah Subhanahu wa-ta'ala (SWT):
{وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ}
dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma'un: 7)
Yakni mereka tidak menyembah Tuhan mereka dengan baik dan tidak pula mau berbuat baik dengan sesama makhluk-Nya, hingga tidak pula memperkenankan dipinjam sesuatunya yang bermanfaat dan tidak mau menolong orang lain dengannya, padahal barangnya masih utuh; setelah selesai, dikembalikan lagi kepada mereka. Dan orang-orang yang bersifat demikian benar-benar lebih menolak untuk menunaikan zakat dan berbagai macam amal kebajikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Ali pernah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-ma'un ialah zakat. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh As-Saddi, dari Abu Saleh, dari Ali. Hal yang sama telah diriwayatkan melalui berbagai jalurdari Ibnu Umar. Hal yang sama dikatakan oleh Muhammad ibnul Hanafiah, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, Ata, Atiyyah Al-Aufi, Az-Zuhri, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, dan Ibnu Zaid.
Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan bahwa jika dia salat pamer dan jika terlewatkan dari salatnya, ia tidak menyesal dan tidak mau memberi zakat hartanya; demikianlah makna yang dimaksud. Menurut riwayat yang lain, ia tidak mau memberi sedekah hartanya.
Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang munafik; mengingat salat adalah hal yang kelihatan,'maka mereka mengerjakannya; sedangkan zakat adalah hal yang tersembunyi, maka mereka tidak menunaikannya.
Al-A'masy dan Syu'bah telah meriwayatkan dari Al-Hakam, dari Yahya ibnul Kharraz, bahwa Abul Abidin pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Mas'ud tentang makna al-ma’un, maka ia menjawab bahwa makna yang dimaksud ialah sesuatu yang biasa dipinjam-meminjamkan di antara orang-orang, seperti kapak dan panci.
Al-Mas'udi telah meriwayatkan dari Salamah ibnu Kahil, dari Abul Abidin, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Mas'ud tentang makna al-ma’un, maka ia menjawab bahwa makna yang dimaksud ialah sesuatu yang biasa dipinjam-meminjamkan di antara sesama orang, seperti kapak, panci, timba, dan lain sebagainya yang serupa.
Ibnu jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ubaid Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Abul Abidin dan Sa'd ibnu Iyad, dari Abdullah yang mengatakan bahwa dahulu kami para sahabat Nabi Muhammad Saw. membicarakan makna al-ma’un, bahwa yang dimaksud adalah timba, kapak, dan panci yang biasa digunakan. Telah menceritakan pula kepada kami Khallad ibnu Aslam, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Syamil, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'd ibnu Iyad menceritakan hal yang sama dari sahabat-sahabat Nabi Saw.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari ibrahim, dari Al-Haris ibnu Suwaid, dari Abdullah, bahwa ia pernah ditanya tentang makna al-ma’un. Maka ia menjawab, bahwa yang dimaksud adalah sesuatu yang biasa saling dipinjamkan di antara orang-orang, seperti kapak, timba, dan lain sebagainya yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnul Ala Al-Fallas, telah menceritakan kepada kami Abu Daud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Asim ibnu Bahdalah, dari Abu Wa-il, dari Abdullah yang mengatakan bahwa kami di masa Nabi Saw. mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-ma’un ialah timba dan lain sebagainya yang sejenis, yakni tidak mau meminjamkannya kepada orang yang mau meminjamnya.
Abu Daud dan Nasai telah meriwayatkan hal yang semisal dari Qutaibah, dari Abu Uwwanah berikut sanadnya. Menurut lafaz Imam Nasai, dari Abdullah, setiap kebajikan adalah sedekah. Dan kami di masa Rasulullah Saw. menganggap bahwa al-ma’un artinya meminjamkan timba dan panci.
Ibnu Abu hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Asim, dari Zurr, dari Abdullah yang mengatakan bahwa al-ma’un artinya barang-barang yang dapat dipinjam-pinjamkan, seperti panci, timbangan, dan timba.
Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma'un: 7) Yakni peralatan rumah tangga. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ibrahim An-Nakha'i, Sai'id ibnu Jubair, Abu Malik, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa sesungguhnya makna yang dimaksud ialah meminjamkan peralatan rumah tangga (dapur).
Lais ibnu Abu Sulaim telah meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma'un: 7) Bahwa orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini masih belum tiba masanya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma'un: 7)
Ulama berbeda pendapat mengenai maknanya; di antara mereka ada yang mengatakan enggan mengeluarkan zakat, ada yang mengatakan enggan mengerjakan ketaatan, dan ada yang mengatakan enggan memberi pinjaman. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ya'qub ibnu Ibrahim, dari Ibnu Aliyyah, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Abu Ishaq, dari Al-Haris ibnu Ali, bahwa makna yang dimaksud dengan ayat ini ialah enggan meminjamkan kapak, panci, dan timba kepada orang lain yang memerlu-kannya.
Ikrimah mengatakan bahwa puncak al-ma'un ialah zakatul mal, sedangkan yang paling rendahnya ialah tidak mau meminjamkan ayakan, timba, dan jarum. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Pendapat yang dikemukakan oleh Ikrimah ini baik, karena sesungguhnya pendapatnya ini mencakup semua pendapat yang sebelumnya, dan semuanya bertitik tolak dari suatu hal, yaitu tidak mau bantu-membantu baik dengan materi maupun jasa (manfaat).
Karena itulah disebutkan oleh Muhammad ibnu Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma'un: 7) Bahwa makna yang dimaksud ialah tidak mau mengulurkan kebajikan atau hal yang makruf.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
«كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ»
Tiap-tiap kebajikan adalah sedekah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Ibnu Abu Zi-b, dari Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya: dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma'un: 7) Al-ma'un menurut dialek orang-orang Quraisy artinya materi (harta).
Ciri-ciri Pendusta Agama
Setelah memahami kandungan tiap ayat, dapat disimpulkan bahwa surat Al Maun menjelaskan ciri-ciri seorang pendusta agama adalah: Menghardik anak yatim. Tidak mengajak sesama agar membantu orang miskin. Lalai dalam mengerjakan salat. Bersikap riya dalam beramal. Tidak meminjamkan barang-barang berguna kepada orang lain yang membutuhkan.
Demikian pembahasan tentang surat Al Maun beserta arti dan kandungannya. Wallahu a'lam.
Catatan Kekinian
Akhirnya, ada catatan kecil terkait Surat Al Maun. Yakni, lahirnya Teologi Al-Maun kemudian diterjemahkan menjadi pilar-pilar kerja Muhammadiyah. Berdasarkan Teologi Al-Ma’un, Muhammadiyah menetapkan tiga pilar kerja, yakni kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial.
Teologi Al-Maun KH Ahmad Dahlan semakin kontekstual apabila diterapkan pada era saat ini. Dalam pemikiran teologi Al-Maun, orang yang tidak memberi makan orang miskin saja celaka, apalagi orang yang merampas kedaulatan, keadilan dan hak-hak orang-orang kecil.
Demikian wallahu a'lam bisshowab. Semoga bermanfaat.