Adab Pernikahan, Mengenal Hak Suami dan Hak Istri
Pernikahan adalah sunnatullah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW). Dalam satu hadits yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, Nabi Muhammad SAW pernah berpesan: Apabila seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.
Keutamaan menikah selain menyempurnakan separuh agama, juga memberikan ketentraman dan ketenangan. Dalam Kitab 'Adabul Islam' dijelaskan seputar adab-adab pernikahan.
1. Dianjurkan Khutbah Nikah
At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami Tasyahhud dalam shalat dan Tasyahhud dalam suatu keperluan. Beliau bersabda: ‘Tasyahhud dalam shalat…’ dan ayat seterusnya hingga sampai pada kalimat, “sedangkan tasyahhud dalam suatu keperluan ialah:
إِنَّ الْحَمْدَللهِ، نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَـا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِيْ -أَيْ اللهُ- فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
"Segala puji bagi Allah, kami memohon pertolongan dan me-mohon ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk (oleh Allah), maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya."
Ibnu Mas’ud berkata: “Lalu beliau membaca tiga ayat.” ‘Abtsar berkata, Sufyan ats-Tsauri menafsirkannya sebagai:
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Ali ‘Imran/3: 102].
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (pelihara-lah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa’/4: 1].
اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” [Al-Ahzaab/33: 70].
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيْهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمضاءِ.
‘Setiap khutbah yang di dalamnya tidak berisi Tasyahhud, maka itu seperti tangan yang buntung.”
Menurut sebagian ulama, nikah itu boleh (dilaksanakan) tanpa khutbah. Dan yang menunjukkan kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Isma’il bin Ibrahim, dari seseorang yang berasal dari Bani Sulaim, ia mengatakan: “Aku meminang Umamah binti ‘Abdil Muththalib kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menikahkanku tanpa adanya khutbah.”
Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam al-Fat-h, mengomentari hadits Sahl bin Sa’d as-Sa’idi Radhiyallahu anhu : “Tidak disyaratkan mengenai sahnya akad pernikahan didahului dengan khutbah nikah.”
2. Dianjurkan menikah pada bulan syawwal
Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada bulan Syawwal dan tinggal bersamaku pada bulan Syawwal. Lalu adakah di antara isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih beruntung di sisi beliau daripada aku?”
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini berisi anjuran menikah di bulan Syawwal. ‘Aisyah bermaksud -dengan ucapannya ini- menolak tradisi Jahiliyyah dan anggapan mereka bahwa menikah pada bulan Syawwal tidak baik. Ini adalah bathil yang tidak memiliki dasar. Mereka meramalkan demikian karena kata Syawwal mengandung arti menanjak dan tinggi…”
3. Pengantin wanita boleh meminjam pakaian dan perhiasan
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdul Wahid bin Aiman, ia mengatakan, ayahku bercerita kepadaku, ia mengatakan: “Aku menemui ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dan dia memakai pakaian terbuat dari katun tebal yang harganya lima dirham, lalu dia mengatakan: ‘Angkatlah pandanganmu kepada sahaya wanitaku, lihatlah ia, sebab ia merasa senang bila memakainya di rumah. Dahulu aku mempunyai pakaian pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah seorang wanita dirias untuk pernikahan di Madinah, melainkan ia datang kepadaku untuk me-minjamnya’.
Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam al-Fat-h, “Dalam hadits ini (menjelaskan) bahwa meminjam pakaian untuk pengantin wanita adalah perkara yang diperintahkan serta dianjurkan, dan itu bukan dianggap sebagai aib. Hadits ini berisi ketawadhuan ‘Aisyah, dan mengenai perangainya ini cukup masyhur, serta kesantunan ‘Aisyah terhadap pembantunya.
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi petunjuk kepada wanita-wanita kita agar meminjam pakaian pengantin daripada berfoya-foya dan membebani pengantin pria terhadap apa yang tidak sanggupi dipikulnya.
4. Mengumumkan pernikahan dengan memukul rebana
Pengantin boleh memberi izin kepada para wanita dalam pernikahan untuk memeriahkan pernikahan dengan memukul rebana saja dan nyanyian mubah yang tidak menggambarkan kecantikan dan menyebut-nyebut kemesuman.
Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ar-Rabi’ binti Mu’awwadz bin ‘Afra’, ia mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk masuk ketika aku menikah, lalu beliau duduk di atas tempat tidurku seperti kamu duduk di dekatku.[9] Lalu gadis-gadis kami memukul rebana dan mengenang kebaikan bapak-bapak kami yang gugur dalam perang Badar. Ketika seorang dari mereka mengatakan, ‘Dan di tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok’, maka beliau bersabda: ‘Tinggalkan (perkataan) ini, dan ucapkanlah dengan apa yang telah engkau ucapkan sebelumnya'.
Dari ‘Aisyah, bahwa dia membawa seorang wanita kepada seorang pria dari Anshar, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا عَائِشَةُ، مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ؟ فَإِنَّ اْلأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ؟
“Wahai ‘Aisyah, apakah ada nyanyian yang menyertai kalian? Sesungguhnya kaum Anshar menyukai nyanyian?”
Dalam suatu riwayat lain (disebutkan) dengan lafazh: Maka beliau bersabda: “Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (kecil) untuk memukul rebana dan menyanyi?” Aku bertanya: “Ia akan mengucapkan apa?” Beliau menjawab: “Ia mengucapkan:
أَتَيْنَـاكُمْ أَتَيْنَـاكُمْ فَحَيُّوْنَـا نُحَيِّيْكُمْ
لَوْلاَ الذَّهَبُ اْلأَحْمَرُ مَا حَلَّتْ بِوَادِيْكُمْ
لَوْلاَ الْحِنْطَةُ السَّمْرَاءُ مَا سَمِنَتْ عَذَارِيْكُمْ
Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian
Hormatilah kami, maka kami akan menghormati kalian
Seandainya bukan karena emas merah
Niscaya kampung kalian tidak mempesona
Seandainya bukan karena gandum yang berwarna coklat
Niscaya gadis-gadis kalian tidak menjadi gemuk
Dari Abu Balj Yahya bin Sulaim, ia mengatakan, Aku mengatakan kepada Muhammad bin Hathib: “Aku menikahi dua wanita tanpa ada suara pada saat menikahi seorang dari keduanya -yaitu suara rebana-.” Mendengar hal itu, Muhammad (bin Hathib) Radhiyallahu anhu mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Yang membedakan antara halal dan haram ialah, (memeriahkan pernikahan ) dengan (memukul) rebana’.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian suara, tapi hal ini dijelaskan oleh hadits pertama yang disebutkan oleh Rabi’ binti Mu’awwadz, yang di dalamnya disebutkan: “Lalu para gadis kecil kami menabuh rebana.”
Al-Muhlib Radhiyallahu anhu berkata, “Hadits ini mengizinkan untuk memeriahkan pernikahan dengan rebana dan nyanyian yang mubah.”
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Qarzhah bin Ka’ab dan Abu Mas’ud al-Anshari, keduanya mengatakan, “Sesungguhnya beliau memberi keringanan kepada kami untuk bersenang-senang pada saat pesta pernikahan”.
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Ini -wallaahu a’lam- adalah penafsiran terbaik tentang makna ‘suara’, yaitu memukul rebana dan nyanyian yang mubah.”
Ibnu Hibban meriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin az-Zubair, dari ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
أَعْلِنُوا النِّكَاحَ.
“Meriahkanlah pernikahan.”
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya tentang hukum menari di antara sesama wanita dalam berbagai kegembiraan.
Jawaban: “Aku menganggap ringan mengenai menari di antara sesama wanita, mengingat hal ini masuk dalam perkara yang diberi keringanan, yaitu bergembira dalam cara tersebut. Tetapi telah sampai kepadaku bahwa di dalamnya terjadi berbagai ke-munkaran, maka karena itu, aku memakruhkan tari-tarian.”
5. Orang yang menikah disunnahkan berdoa meminta kebaikan dan keberkahan
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Tsabit, dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat bekas warna kuning pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf, lalu beliau bertanya: “Apa ini?” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku menikahi seorang wanita dengan mahar emas seberat biji.” Beliau berucap:
بَارَكَ اللهُ لَكَ، أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ.
“Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing.”
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diundang oleh seseorang ketika menikah, maka beliau berucap:
بَارَكَ اللهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ.
“Semoga Allah memberkahimu, dan semoga memberkahi atasmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Buraidah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Segolongan orang Anshar berkata kepada ‘Ali, ‘Di sisimu ada Fathimah.’ Dia pun datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengucapkan salam kepada beliau, maka beliau bertanya: ‘Apa keperluan putera Abu Thalib?’ Dia menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku teringat Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mendengar hal itu, beliau berucap: ‘Marhaban wa Ahlan (selamat datang)!’ Beliau tidak menambah dari kata-kata itu. Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib keluar untuk menemui segolongan Anshar yang menantinya. Mereka bertanya: ‘Apa hasil yang engkau bawa?’ Dia menjawab: ‘Aku tidak tahu, selain ucapan beliau kepadaku: ‘Marhaban wa Ahlan!’ Mereka mengatakan: ‘Sudah cukup bagimu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam salah satu dari keduanya. Beliau memberimu ucapan selamat dan keluasan.’ Kemudian setelah beliau menikahkannya (dengan puterinya, Fathimah), beliau bersabda: ‘Wahai ‘Ali, untuk pernikahan itu harus ada walimah.’ Sa’ad mengatakan: ‘Aku mempunyai seekor domba.’ Sedangkan segolongan dari Anshar mengumpulkan beberapa gantang (sha’) gandum. Ketika malam pengantin, beliau bersabda: ‘Jangan terjadi sesuatu, hingga engkau menemuiku.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air untuk berwudhu’ dengannya, kemudian menuangkannya pada ‘Ali seraya berucap:
اَللَّهُمَّ بَـارِكْ فِيْهِمَا، وَبَارِكْ لَهُمَا فِيْ بِنَـائِهِمَا.
‘Ya Allah, berkahilah keduanya dan berkahilah keduanya dalam percampuran keduanya.’
6. Disunnahkan berdoa sebelum berduaan dengannya
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا (فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا)، وَلْيُسَمِّ اللهَ : (وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ)، وَلْيَقُلْ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِمَـا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّمَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.
“Jika salah seorang dari kalian menikahi wanita atau membeli pelayan (hamba sahaya), (maka peganglah ubun-ubunnya), (dan sebutlah Nama Allah Azza wa Jalla), (dan berdo’alah untuk meminta keberkahan), serta ucapkanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan watak yang telah Engkau jadikan padanya, serta aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan watak yang telah Engkau jadikan padanya'.
7. Kedua pengantin baru dianjurkan melaksanakan shalat dua rakaan bersama
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari Abu Sa’ad, maula Abu Usaid, ia mengatakan: “Aku menikah sedangkan aku seorang hamba sahaya, lalu aku memanggil sejumlah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya ialah Ibnu Mas’ud, Abu Dzarr dan Abu Hudzaifah. Lalu shalat didirikan. Ketika Abu Dzarr maju, mereka mengatakan: ‘Engkau saja!’ Ia bertanya: ‘Apa memang demikian?’ Mereka menjawab: ‘Ya.'[22] Kemudian aku maju menjadi imam mereka, padahal aku hanyalah seorang hamba sahaya, dan mereka mengajarkan kepadaku dengan per-nyataannya, ‘Jika isterimu menemuimu, maka shalatlah dua rakaat. Kemudian mohonlah kepada Allah kebaikan apa yang terdapat pada diri wanita tersebut dan berlindung-lah kepada Allah dari keburukannya. Kemudian, setelah itu, urusanmu dengan isterimu”.
Ibnu Abi Syaibah dan ‘Abdurrazzaq meriwayatkan dari Syaqiq, ia mengatakan: “Seseorang yang biasa dipanggil Abu Huraiz, datang lalu mengatakan: ‘Aku menikah dengan seorang gadis dan aku khawatir dia membenciku.’ Mendengar hal itu, ‘Abdullah (Ibnu Mas’ud) mengatakan: ‘Cinta itu berasal dari Allah, sedangkan kebencian itu berasal dari syaitan yang bermaksud memasukkan rasa benci ke dalam hatimu terhadap apa yang dihalalkan Allah. Jika dia (isterimu) datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk menunaikan shalat di belakangmu dua rakaat.”
Dalam bab ini terdapat sejumlah hadits yang tidak luput dari komentar dan pendapat, maka saya lebih memilih untuk tidak menyebutkannya.
8. Suami wajib menyayangi dan bersikap lemah lembut, sebagaimana dilakukan nabi Muhammad SAW.
Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Asma’ binti Yazid bin as-Sakn, ia menuturkan: “Aku merias ‘Aisyah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku datang kepada beliau lalu memanggil beliau supaya melihat dandanannya. Beliau pun datang lalu duduk di sisinya. Beliau datang membawa segelas susu lalu meminumnya, kemudian memberikan kepadanya, tapi ia menundukkan kepalanya dan malu.” Asma’ melanjutkan: “Aku menegurnya dan mengatakan kepadanya, ‘Ambillah dari tangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Lalu ia mengambilnya dan meminumnya sedikit. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya: ‘Berikan kepada temanmu.’ Aku mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, bahkan ambillah lalu minumlah darinya kemudian berikan kepadaku dari tanganmu.’ Beliau mengambil lalu meminumnya kemudian memberikannya kepadaku. Kemudian aku duduk, lalu meletakkannya di atas kedua lututku. Kemudian aku segera (meminumnya, sambil) memutarnya dengan menempelkan kedua bibirku, agar aku mengenai bekas minum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda kepada para wanita yang berada di sisiku: ‘Berikan kepada mereka.’ Mereka menjawab: ‘Kami tidak menginginkannya.’ Beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian menghimpun rasa lapar dan dusta'.
Lebih lanjut Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menyampaikan dalam kitabnya, Dhau al Mishbah fi Bayani Ahkam an Nikah bahwa kewajiban suami kepada istrinya, yaitu harus mempergaulinya dengan baik, mu’asyarah bi al ma’ruf. Suami harus memenuhi hak strinya dengan baik seperti maharnya, nafkahnya, mu’nahnya, kiswahnya. Semua itu harus dilakukan oleh suami dengan penuh kerelaan, hati baik, ucapan yang lemah lembut, dan penuh Kesabaran atas prilaku buruk misalnya si istri berakhlaq kurang baik”.
Suami juga harus bisa membimbing istrinya dengan baik dan sabar menuju kebaikan-kebaikan dan ibadah. Mengajari istrinya bagaimana bersuci yang benar sesuai perintah agama, juga membimbing istrinya dengan benar tatkala ia haid, ketika ia shalat serta ketika istri melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang lain.
Firman Allah SWT dalam Surat an Nisaa: 19:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah istri-istri mu sekalian dengan baik”.
Lalu dalam Surat al Baqarah: 228 yang berbunyi:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيْمٌ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Begitu pula bagi istri-istri mereka, wajib mempergauli suami mereka dengan baik. Bagi Laki-laki wajib kepada istri-istri mereka mempergauli dengan baik.
Jadi, menurut saya, inilah pernikahan yang agung, pernikahan yang baik, pernikahan yang sesuai perintah Allah. Kedua belah pihak dituntut harus sama-sama berlaku dan berbuat baik kepada pasangannya. Baik suami maupun istri. Bukan malah sepihak dan bukan satu saja, tapi keduadua nya harus sama-sama berlaku baik kepada pasangannya masing-masing.
Kewajiban-kewajiban suami kepada istri dan hak yang harus diterima bagi istri itu setidaknya harus:
Suami itu harus memberikan Nafkah; nafkah lahir seperti makan dan minum, belanja perabotan rumah tangga, biaya sekolah, biaya mondok, dan belajar anak-anaknya. Di samping itu juga, suami harus memberikan nafkah batin, baik hubungan seksual yang baik dan layak, maupun hubungan psikologis dalam rumah tangga itu yang juga baik dan layak.
Suami harus juga memberikan mu’nah. Yang dimaksud dengan mu’nah itu adalah segala sesuatu di luar kewajiban-kewajiban nafkah tersebut, atau bahasa lain adalah segala biaya tak terduga, seperti biaya-biaya pengobatan jika sakit, biaya yang dengan perhiasan istri, biaya untuk istri bersolek dan lain-lain.
Suami juga wajib memberikan biaya kiswah, dalam hal ini suami harus memenuhi biaya pakaian Istri (secukupnya dan seperlunya).
Semua kewajiban-kewajiban suami di atas itu tentu disesuaikan sesuai kemampuannya sebagai suami. Kalau penghasilan si suami satu bulan misalnya hanya berkisar 1 juta rupiah saja, maka bagaimana uang 1 juta rupiah itu harus di atur sedemikian rupa, sehingga segala kebutuhan rumah tangga itu bisa berjalan normal; baik itu kebutuhannya sendiri selaku suami, maupun kebutuhan istri dan anak-anaknya.
Coba kita lihat dan baca, ada satu hadis Baginda Nabi SAW yang cukup panjang, ketika beliau melaksanakan Haji Wada’ (haji perpisahan, karena tidak lama setelah melaksanakan haji ini, Baginda Nabi wafat). Beliau berwasiat begini:
“Ingatlah! Berwasiatlah (ajaklah) istri-istri kalian dengan baik, sungguh mereka itu adalah penolong bagi kalian (para suami), kalian tidak memiliki mereka kecuali sebagai penolong, kecuali mereka para istri itu melakukan fahisyah (perbuatan keji) yang nyata, maka apabila mereka itu menjauh darimu, dari tempat tidurmu, maka pukullah dengan cara yang mendidik, tidak menyakiti. Maka apabila mereka itu taat kepadamu, maka ajaklah ke jalan yang benar. Ingatlah! Bagi mereka itu ada hak yang harus diterima, begitu juga sebaliknya bagimu juga ada hak yang harus diterima. Hak yang kalian (suami) terima, dari kewajiban-kewajiban istri adalah seorang Istri tidak memasukkan seseorang ke dalam rumah (atau kamar tempat tidurnya) seseorang yang tidak kalian senangi, dan tidak memberikan izin seseorang masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuan kalian (para suami). Ingatlah! Hak yang kalian harus berikan kepada mereka (para istri). Wajib bagi kalian (para suami) memberikan pakaian yang baik (layak dan proporsional) dan memberikan makanan yang (juga) baik (layak, sesuai kemampuan kalian sebagai suami)”.
Masing-masing mempunyai kewajiban-masing, masing-masing juga menerima Hak. Tidak saling menyalahkan, tidak saling memberatkan, juga tidak saling menuntut satu sama lain. Apabila seorang istri “melanggar” dan tidak sesuai koridor aturan-aturan yang dibangun bersama, maka suami boleh mendidik istrinya dengan cara yang sekiranya membuatnya jera. Bahasa hadis di atas tadi : “Fadlribuuhunna (maka pukullah) dengan tujuan mendidik dan tidak menyakitkan.
Maksudnya menurut penulis, seorang suami boleh memberikan hukuman takzir kepada Istri nya bilamana seorang Istri “melanggar” dari rambu-rambu yang diatur dan ditentukan oleh suami. Karena suami itu adalah pemimpin keluarga.
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari lebih lanjut menyampaikan bahwa hak yang harus diterima oleh istri adalah:
- Suami harus memberikan nafkah berupa makan, maksudnya uang belanja sehari-hari urusan dapur.
- Suami harus memberikan pekerjaan yang layak dan pantas kepada istrinya.
- Suami tidak boleh memukul wajah istrinya.
- Suami tidak boleh memaki-maki istri, termasuk membentah atau memarahi istri nya kecuali di dalam rumah sendiri.
Mahar atau Mas Kawin itu adalah Hak yang wajib diterima oleh istri. Bukan masalah besar atau kecilnya mahar. Besar atau kecilnya mahar itu sama-sama tetap wajib diberikan kepada istri, karena, itu adalah hak istri.
Sebaik-baiknya perempuan yang dinikahi, adalah perempuan yang lebih ringan maharnya, tidak memberatkan calon suaminya.
Suami memberikan hak kepada istrinya, karena suami merupakan pemimpin keluarga yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak dihadapan Allah atas kepemimpinannya di dalam rumah tangganya.
Sebagaimana Hadist Nabi SAW:
والرّجُلُ راعٍ فِي أهلِهِ و مسئولٌ عنْ رَعِيَّتِهِ والمرأةُ رَاعِيَّةٌ فِي بيتِ زوجِها و مسئولٌ عنْ رَعِيَّتِهَا فكلّكم راعٍ وكلّكم مسئولٌ عنْ رَعِيَّتِهِ
“Laki-laki itu adalah pemimpin di dalam keluarganya, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, Perempuan itu adalah pemimpin di dalam rumah suaminya, maka akan juga dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan di dalam menjaga rumah tangganya, maka setiap kalian adalah pemimpin, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”
Kewajiban Istri dan Hak Suami
Kewajiban-kewajiban Istri yang harus dilakukan, dan hak yang harus diterima oleh suami adalah:
Isteri wajib taat kepada suaminya terhadap segala apa saja perintah suami, selagi dalam hal yang dihalalkan menurut perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
Istri tidak boleh berpuasa kecuali atas izin suaminya.
Istri tidak boleh keluar rumah, kecuali atas izin dan ridla suaminya.
Seorang istri harus bersungguh-sungguh mencari ridla suaminya, karena ridla Allah berada didalam ridla suaminya dan marahnya Allah berada di dalam marah suaminya. Sekuat mungkin istri wajib berusaha menjauhi yang sekiranya menyebabkan suaminya marah.
Perbedaan pendapat dan pandangan bahkan keinginan-keinginan yang ada di dalam rumah tangga, antara suami-istri sesuatu hal yang lumrah dan sering terjadi. Justru dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, maka akan melahirkan solusi-solusi yang sekiranya justru menjadikan rumah tangga menjadi lebih baik.
Tidak sedikit keluarga yang dibangun oleh suami-istri justru berakibat fatal dan gagal, disebabkan kadang-kadang diakibatkan oleh hal yang sepele, atau tidak bisa mengatasi perbedaan-perbedaan yang selalu saja muncul dan ada di dalam rumah tangga.
Menurut Hadratussyaikh, lebih lanjut beliau menyampaikan, “sebaiknya, seorang istri itu tidak bertindak atas harta suaminya tanpa seizin suaminya. Ia mendahulukan hak suaminya di atas hak-hak kerabatnya, termasuk dari hak dirinya sendiri. Inilah istri yang benar-benar salehah.
Seorang istri juga berusaha bagaimana tampil bersih di hadapan suaminya, tidak kelihatan kumuh, kotor, dan bau. Sebaliknya ia tampil terawat, harus benar-benar dijaga, setidaknya selalu berusaha rapi, bersih dan harum, sehingga suaminya selalu terlihat senang dan bahagia melihat istrinya.
Di sisi lain, seorang suami tidak boleh sombong dan merasa berlebih-lebihan perlakuannya kepada istri atas kecantikannya. Atau sebaliknya, suami tidak boleh mencaci maki istrinya, misalnya si istri ada kekurangannya.
Suami yang baik itu tidak mempermalukan istrinya di depan umum. Begitu juga sebaliknya, seorang istri itu tidak boleh memaki-maki dan bahkan mempermalukan suaminya di depan umum. Segala kekurangan dari keduanya hendaknya harus ditutup rapat-rapat, sehingga tidak menjadi konsumsi publik. Karena wilayah keluarga atau rumah tangga itu adalah wilayah privat. Artinya, jika ada masalah-masalah maka cukup hanya diketahui berdua saja.
Apalagi di zaman now, zaman milenial ini, zaman teknologi, zaman media sosial, di mana seringkali hal-hal yan sifatnya privat sedikit-sedikit tanpa terasa dipublikasikan melalui medsos. Masalah-masalah yang muncul dalam rumah tangga kalau tidak diketahui publik melalui medsos rasa-rasanya kurang marem dan kurang puas. Tentu hal-hal seperti demikian sangat tidak dibenarkan, tidak pada tempatnya.
Menurut Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari lebih lanjut, bahwa seorang istri hendaknya menempatkan rasa malu sesuai tempatnya, menundukkan pandangannya di depan suaminya, taat atas perintah suaminya, diam ketika suami berbicara, berdiri di depan pintu ketika suami datang dari bepergian (menyambutnya dengan penuh suka cita dan tawadlu).
Tidak malah sebaliknya, tidak sedikit para istri yang justru berprilaku kontraproduktif, dan tidak sesuai dengan apa yang disampaikan Hadratussyaikh di atas ini. Begitu juga tidak sedikit, para suami berprilaku yang juga kontraproduktif, tidak menempatkan diri, tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, sehingga selalu saja muncul tindakan dan prilaku yang arogan dan tidak mencerminkan layaknya seorang suami yang mengedepankan kasih sayang dan cinta.
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menyampaikan lebih lanjut bahwa seorang istri itu sebaiknyanya:
Menawarkan diri kepada Suami nya, mau tidur atau dalam hal apakah si Suami “kerso” pingin berhubungan badan, atau sekedar bercumbu, atau yang sejenisnya (karena hal ini adalah salah satu dari hak yang harus diterima oleh suami).
Istri tidak berkhianat, atau menyimpang ketika suaminya tidak ada di rumah. Baik terkait urusan ranjang atau tempat tidur, maupun urusan harta suaminya. Apalagi zaman seperti saat ini, godaan-godaan, baik melalui medsos maupun melalui hal lain, begitu gencar dan luar biasa masif, sehingga seorang istri harus bisa menjaga diri.
Seorang Istri sebaiknya selalu berpenampilan menarik di depan suaminya, baunya selalu harum dan wangi, menjaga bau mulutnya.
Istri juga sebaiknya selalu menjaga performanya, berpenampilan menarik di depan suaminya. (Bukan malah sebaliknyanya, kalau di depan suaminya berantakan, lusuh, bau, dan lain-lain, giliran ke luar rumah tanpa bersama suami malah berpenampilan semenarik mungkin. Ini kurang tepat; setidaknya yang baik, sama-sama berpenampilan menarik. Apalagi ketika bersama suaminya, tentu harus lebih baik lagi).
Dalam kaitannya dengan hal di atas ini, Baginda Nabi SAW bersabda:
إﺫَﺍ ﺻَﻠَّﺖِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓُ ﺧَﻤْﺴَﻬَﺎ ﻭَﺻَﺎﻣَﺖْ ﺷَﻬْﺮَﻫَﺎ ﻭَﺣَﻔِﻈَﺖْ ﻓَﺮْﺟَﻬَﺎ ﻭَﺃَﻃَﺎﻋَﺖْ ﺯَﻭْﺟَﻬَﺎ ﻗِﻴﻞَ ﻟَﻬَﺎ ﺍﺩْﺧُﻠِﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﻣِﻦْ ﺃَﻯِّ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺷِﺌْﺖِ
“Ketika seorang istri sudah shalat lima waktu, dan ia puasa Ramadan, lalu ia telah menjaga kemaluannya, ia telah taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya, “Masuklah wahai istri yang seperti itu, ke dalam surga dari pintu mana saja engkau inginkan“.
Ini menunjukkan betapa penting dan wajib seorang istri itu memenuhi kewajiban-kewajibannya, dan menerima haknya, serta taat kepada suaminya, menjaga dari segala bentuk fitnah yang dapat menjurus pada kerusakan sebuah tatanan mahligai rumah tangga itu.
Kalau kita mengaca dan membaca sirah Nabi SAW, betapa istr-istri Rasulullah itu tidak pernah sembrono di dalam berkhidmat dan dalam melayani Baginda Nabi. Suatu waktu Sayyidatina Siti Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Siapa manusia yang harus lebih diutamakan menerima haknya?’ Rasulullah lalu menjawab, ‘Suaminya!’. Lalu setelah itu siapa ya Rasulullah? Lalu Baginda Nabi SAW menjawab: “Ibunya!”.
Sementara menurut Syekh Sayyid Sabil dalam kitabnya Fiqhus Sunnah telah membagi hak ini menjadi tiga, yaitu hak suami, hak istri, dan hak bersama suami-istri, baik yang bersifat materi maupun yang immateri.
Namun, pembagian ini lebih cenderung untuk memudahkan penjelasan. Sebab pada dasarnya, wilayah hak dan kewajiban suami-istri merupakan wilayah beririsan dan timbal balik. Pasalnya, berbicara tentang hak istri, maka sama saja dengan berbicara tentang kewajiban suami. Begitu pula sebaliknya.
Pada kesempatan kali ini, pembahasan tentang hak bersama suami-istri akan difokuskan pada dua hak saja, yaitu hak pergaulan yang halal nan makruf serta hak mahram. Sedangkan dua hak bersama lainnya akan diuraikan pada kesempatan berikutnya.
1. Hak pergaulan suami-istri yang halal dan makruf menurut syariat
Secara spesifik, hak pergaulan suami-istri adalah terpenuhinya kebutuhan biologis dan terjaganya kehormatan diri dari perbuatan haram. Sebab walau bukan satu-satunya faktor, terpenuhinya kebutuhan ini melahirkan ketenangan batin dan kebahagian rumah tangga sehingga baik suami maupun istri harus berusaha memenuhi kewajiban masing-masing karena kewajiban itu merupakan hak bagi pasangannya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan kewajiban ini. Ulama Maliki berpendapat suami diwajibkan mengajak istrinya berhubungan badan selama tidak ada halangan dan kapan pun membutuhkannya.
Ulama Syafi’i menyebut kewajiban berhubungan badan ini hanya satu kali, sedangkan selebihnya adalah sunnah dan mubah. Pasalnya, yang mendorong hubungan badan adalah syahwat atau hasrat seksual sehingga bagaimana mungkin diwajibkan.
Kendati hukumnya sunnah, ulama Syafi’i setuju bahwa hubungan badan dilakukan selain untuk kemaslahatan suami-istri juga demi menolak mafsadat bagi keduanya. Sedangkan menolak kerusakan hukumnya wajib.
Sementara menurut ulama Hanbali, suami berkewajiban mengajak istrinya berhubungan badan setidaknya empat bulan sekali jika tidak ada halangan. Sebab, menyalurkan kebutuhan seksual adalah hak suami dan istri.
Jika selama empat bulan, suami menolak memberikan nafkah batin ini tanpa alasan, maka keduanya boleh dipisahkan melalui talak sebagaimana dipisahkan karena alasan ila' atau menolak nafkah zahir.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa kewajiban suami mengajak berhubungan badan sedikitnya adalah setiap masa suci, berdasarkan ayat:
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Artinya: “Janganlah kamu mendekati mereka (wanita haidh), sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu,” (Surat Al-Baqarah ayat 222).
Selain itu, baik suami maupun istri juga berhak mendapat pergaulan atau perlakuan yang makruf. Dengan kata lain, memberi perlakuan yang baik menjadi kewajiban masing-masing.
Keseimbangan hak dan kewajiban itu juga sudah ditegaskan dalam Al-Quran, “Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf,” (Surat Al-Baqarah ayat 228).
Namun, lanjutan ayat tersebut menyatakan bahwa para suami mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari istri karena tanggung jawabnya terhadap keluarga.
Selanjutntya, kewajiban suami memperlakukan istri secara makruf juga ditetapkan dalam nas Al-Quran sebagai berikut:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya, “Bergaullah dengan mereka secara patu. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Surat An-Nisa’ ayat 19).
Termasuk perlakuan makruf suami adalah tidak melakukan ‘azal atau mengeluarkan sperma di luar kemaluan istri kecuali atas seizinnya. Ini artinya, jika tidak diinginkan istri, ‘azal tidak diperbolehkan, apalagi menggaulinya di saat haid atau melalui anus karena jelas-jelas melanggar hukum syariat. (Lihat: Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 153).
Adapun kewajiban istri memperlakukan suaminya secara makruf salah satunya didasari oleh hadits riwayat Ahmad dari sahabat Mu‘adz ibn Jabal. Dalam riwayat tersebut, Rasulullah SAW bersabda:
لَا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ: لَا تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ؛ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
Artinya, “Tidaklah seorang perempuan menyakiti suaminya di dunia kecuali istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, ‘Janganlah kaumenyakitinya. Semoga Allah membalasmu. Dia adalah tamumu yang sebentar lagi akan meninggalkanmu dan menjumpai kami,’” (HR Ahmad).
2. Hak mahram
Ketika seorang laki-laki melangsungkan akad nikah, maka ibu mertuanya langsung menjadi mahramnya tanpa menunggu hubungan badan.
Demikian pula ketika seorang laki-laki yang anak laki-lakinya melangsungkan akad nikah, maka menantu perempuannya langsung menjadi mahram. Atau ketika seorang laki-laki yang ayahnya melangsungkan akad nikah, maka ibu tirinya langsung menjadi mahram.
Walhasil, ketiga baris mahram ini, yakni mertua, menantu, dan ibu tiri, menjadi mahram tanpa menunggu hubungan badan. Sementara anak tiri perempuan akan menjadi mahram setelah ada hubungan badan dengan ibu anak tiri tersebut.
فَقَدْ ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّ الْعَقْدَ الصَّحِيحَ مُثْبِتٌ لِحُرْمَةِ الْمُصَاهَرَةِ فِيمَا سِوَى بِنْتِ الزَّوْجَةِ وَهِيَ الرَّبِيبَةُ وَفُرُوعُهَا وَإِنْ نَزَلَتْ فَإِنَّهُنَّ لاَ يَحْرُمْنَ إِلاَّ بِالدُّخُول بِالزَّوْجَةِ
Artinya, “Para ulama fikih berpendapat bahwa akad yang sah menetapkan status mahram karena pernikahan kecuali anak dari istri atau anak tiri serta anak-cucunya, meski terus ke bawah. Mereka tidak menjadi mahram kecuali setelah ada hubungan badan dengan istrinya (maksud istri di sini ibu dari anak tiri),”
Pertanyaannya, mengapa ibu mertua, misalnya, langsung menjadi marham menantu laki-lakinya walaupun baru sekadar akad, sedangkan seorang anak perempuan tidak langsung menjadi mahram sampai ayah tirinya berhubungan badan dengan ibunya?
Syekh Abu Bakar bin Muhammad Al-Hishni menjawab, karena seorang laki-laki yang sudah menikah biasanya dituntut untuk berinteraksi dengan ibu mertuanya walaupun baru selesai akad. Makanya seorang ibu mertua langsung dijadikan mahram dengan menantu laki-lakinya agar keduanya memungkinkan berkomunikasi lebih longgar.
(WIT)